How to cite:
Muhamad Rigel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak (2024) Kepastian Hukum Terhadap
Keamanan Investasi Bagi Pelaku Bisnis Pelayaran di Perairan Indonesia , (6) I0
E-ISSN:
2684-883X
KEPASTIAN HUKUM TERHADAP KEAMANAN INVESTASI BAGI PELAKU
BISNIS PELAYARAN DI PERAIRAN INDONESIA
Muhamad Rigel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
Universitas Kristen Indonesia, Indonesia
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui aturan hukum yang berlaku bagi
pelaku bisnis pelayaran di perairan Indonesia. Untuk mengetahui implementasi aturan
hukum yang berlaku bagi pelaku bisnis pelayaran di perairan Indonesia.Perairan
Indonesia memiliki potensi besar sebagai sumber daya ekonomi yang dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan bisnis pelayaran. Di Indonesia, kegiatan pelayaran
diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Spesifikasi penelitian yang digunakan
oleh penulis adalah metode yuridis normative. Aturan hukum yang berlaku bagi pelaku
bisnis pelayaran di perairan Indonesia tidak hanya menjadi kerangka kerja untuk
menjalankan bisnis, tetapi juga melindungi kepentingan semua pihak yang terlibat,
Aturan hukum bagi pelaku bisnis pelayaran di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Implementasi aturan hukum yang berlaku
bagi pelaku bisnis pelayaran di perairan Indonesia berkaitan dengan kepastian hukum
adalah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi para pelaku usaha. Pelaku bisnis
sewa kapal memerlukan aturan yang jelas, stabil, dan dapat diandalkan dalam
menjalankan aktivitas serta merasa aman dalam melakukan investasi.
Kata kunci: Kepastian Hukum, Keamanan Investasi, Bisnis Pelayaran
Abstract
The purpose of this study is to find out the legal rules that apply to shipping business
people in Indonesian waters. To find out the implementation of legal rules that apply to
shipping business people in Indonesian waters.Indonesian waters have great potential
as an economic resource that can be used to develop the shipping business. In
Indonesia, shipping activities are regulated by Law Number 17 of 2008 concerning
Shipping and Law Number 32 of 2014 concerning Marine Affairs. The research
specification used by the author is the normative juridical method. The legal rules that
apply to shipping business actors in Indonesian waters are not only a framework for
running a business, but also protect the interests of all parties involved, The legal rules
for shipping business people in Indonesia are regulated in Law Number 17 of 2008
concerning Shipping. The implementation of legal rules that apply to shipping business
actors in Indonesian waters related to legal certainty is to create a conducive
environment for business actors. Boat charter business people need clear, stable, and
reliable rules in carrying out activities and feeling safe in making investments
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Kepastian Hukum Terhadap Keamanan Investasi Bagi Pelaku Bisnis Pelayaran di
Perairan Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6573
Keywords: Legal Certainty, Investment Security, Shipping Business
PENDAHULUAN
Perairan Indonesia memiliki potensi besar sebagai sumber daya ekonomi yang
dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan bisnis pelayaran. Misalnya dalam bidang
perikanan, Pada tahun 2018, Indonesia memiliki ekosistem terumbu karang seluas 2,5
juta hektar. Pada tahun 2020, sebanyak 3,2 juta rumah tangga bekerja di industri
perikanan, dengan produksi mencapai 21,83 juta ton. Nilai ekspor perikanan tahun 2020
sebesar USD 5,2 miliar naik menjadi USD 5,72 miliar pada 2021. Industri perikanan
menyumbang 469,59 triliun rupiah atau 2,76% dari PDB pada tahun 2021 (Darajati,
2023).
Di Indonesia, kegiatan pelayaran diatur oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.
Regulasi ini memberikan landasan hukum dan kepastian hukum terkait kepemilikan
kapal, pengoperasian, keselamatan pelayaran, dan aspek-aspek penting lain yang
menyangkut bisnis pelayaran, termasuk dalam hal sewa kapal.
Kepastian hukum bagi pelaku bisnis pelayaran di perairan Indonesia adalah hal
yang sangat penting untuk dipertimbangkan (Satria, 2015). Kepastian hukum tersebut
menyangkut peraturan dan kebijakan yang berlaku dalam mengatur aktivitas bisnis di
sektor pelayaran, sehingga para pelaku bisnis merasa aman dan nyaman dalam
melakukan investasi di perairan Indonesia.
Dalam konteks operasional di perairan Indonesia, keselamatan pelayaran menjadi
isu utama. Kepastian hukum terkait standar keselamatan kapal dan perizinan
operasional sangat penting. Pengawasan dan regulasi ketat dari pihak otoritas maritim,
seperti Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Utama adalah sebuah Unit
Pelaksana Teknis di lingkungan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut
untuk memastikan bahwa kapal-kapal yang disewa memenuhi standar keselamatan dan
keamanan. Tanpa adanya standar hukum yang jelas, operasional kapal sewaan dapat
menghadapi berbagai risiko, seperti kecelakaan laut atau sengketa hukum dengan
otoritas maritim.
Meskipun regulasi pelayaran di Indonesia sudah cukup memadai dengan adanya
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2014 tentang Kelautan, pelaku bisnis pelayaran sering menghadapi tantangan
dalam penerapannya. Tantangan tersebut meliputi kompleksitas birokrasi, regulasi yang
tumpang tindih, serta penegakan hukum yang kadang masih kurang konsisten. Hal ini
dapat menciptakan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, pemerintah perlu terus
melakukan reformasi dalam hal penyederhanaan regulasi dan memperkuat penegakan
hukum di sektor pelayaran.
Dalam menjalankan bisnis di sektor pelayaran, pelaku bisnis seringkali
dihadapkan pada berbagai kendala seperti peraturan yang kompleks, birokrasi yang
Muhamad Rigel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6574 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
rumit, dan ketidakpastian hukum mengenai tanggung jawab antara pemilik kapal dan
penyewa kapal. Misalnya, ketika sebuah kapal disewa dan akan berangkat, Kantor
Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Utama mengirimkan inspektur untuk
memeriksa kelayakan kapal. Jika kapal dinyatakan layak, inspektur akan
merekomendasikan kepada Syahbandar untuk menerbitkan Surat Ijin Berlayar (SIB),
dan penyewa akan membawa dokumen tersebut ke kapal. Pada tahap ini, semua pihak
yang bertanggung jawab di perairan Indonesia seharusnya sudah memastikan bahwa
kapal tersebut layak untuk melaut, meskipun pemilik kapal tidak mengetahui barang apa
yang dibawa oleh penyewa. Dengan demikian, tanggung jawab pemilik kapal dianggap
selesai ketika kapal mulai berlayar, karena sejak saat itu tanggung jawab penuh berada
di tangan penyewa. Namun, setelah kapal kembali, tanggung jawab kembali kepada
pemilik kapal.
Dalam hal sewa kapal, permasalahan lain yang dihadapi oleh pemilik kapal adalah
setelah kapal berlayar, kapal tersebut masih dapat diperiksa oleh pihak lain di luar
Syahbandar dengan alasan untuk memastikan bahwa pelayaran berlangsung sesuai
dengan aturan yang berlaku meskipun kapal sudah berlayar mengantongi Surat Ijin
Berlayar (SIB). Padahal secara ideal, kapal yang sudah berlayar seharusnya tidak perlu
diperiksa lagi karena sudah melalui pemeriksaan oleh Syahbandar sebelum berangkat
dan Syahbandar telah memastikan kelayakan kapal dan menerbitkan Surat Ijin Berlayar
(SIB) berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut. Oleh karena itu, jika terjadi masalah
selama pelayaran, tanggung jawab sepenuhnya harusnya berada pada Syahbandar
sebagai pihak yang memberikan izin berlayar, karena Syahbandar yang memastikan
kapal layak untuk melaut.
Permasalahan lainyanya adalah jika selama perjalanan terjadi masalah, seperti
kerusakan atau gangguan teknis, tanggung jawab atas kapal tersebut akan kembali
kepada pemilik kapal. Meskipun kapal disewa oleh pihak lain, pemilik tetap
bertanggung jawab atas segala hal yang berkaitan dengan kondisi kapal selama
pelayaran, terutama jika permasalahan tersebut menyangkut aspek keselamatan atau
kelayakan kapal. Sebagai contoh, jika terjadi kerusakan mesin selama masa sewa,
meskipun kapal sedang digunakan oleh penyewa, tanggung jawab atas kerusakan
tersebut tetap ada pada pemilik kapal. Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk
mengetahui aturan hukum yang berlaku bagi pelaku bisnis pelayaran di perairan
Indonesia. Untuk mengetahui implementasi aturan hukum yang berlaku bagi pelaku
bisnis pelayaran di perairan Indonesia.
METODE PENELITIAN
Spesifikasi penelitian yang digunakan oleh penulis adalah metode yuridis
normatif. Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai
bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-
peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti . Data
yang digunakan adalah data sekunder yang di peroleh baik dari buku, jurnal ilmiah,
hasil penelitian dan peraturan perundangan. Metode pendekatan diartikan sebagai usaha
Kepastian Hukum Terhadap Keamanan Investasi Bagi Pelaku Bisnis Pelayaran di
Perairan Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6575
dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang
diteliti atau metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian
(Salim, 2013). Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
adalah metode pendekatan analitis (analytical approach) dan pendekatan perundang-
undangan (statue approach) (Jonaedi Efendi, Johnny Ibrahim, & Se, 2018).
Pendekatan analitis (analytical approach) dalam ilmu hukum digunakan untuk
memperoleh pemahaman yang jelas tentang konsep, prinsip atau norma hukum dan
kasus hukum secara sistematis. Sedangkan pendekatan perundang-undangan (statue
approach) berfokus pada analisis dan interpretasi teks-teks hukum tertulis, khususnya
undang-undang, peraturan, atau instrumen hukum lainnya untuk memahami bahasa dan
konteks dari ketentuan hukum yang tertulis, serta bagaimana ketentuan tersebut
diterapkan dalam praktik. Mengingat penelitian ini merupakan penelitian hukum
normatif, maka jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Soerjono Soekanto menjelaskan bahwa data sekunder mencakup berbagai jenis sumber,
seperti dokumen-dokumen resmi, buku, dan laporan hasil penelitian (Jonaedi Efendi et
al., 2018). Penelitian ini dilaksanakan di perpustakaan atau sumber-sumber lain yang
memiliki potensi menyediakan berbagai jenis data bahan hukum yang diperlukan (Ali,
2021).
Pengumpulan data dilakukan melalui pemeriksaan dokumen yang tersedia,
khususnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Penulis menjalankan proses
pengumpulan data ini melalui beberapa langkah, yakni menetapkan sumber data
sekunder, mengidentifikasi data yang diperlukan, membuat inventarisasi data yang
relevan dengan perumusan masalah, dan akhirnya mengevaluasi data-data tersebut
untuk menentukan relevansinya terhadap kebutuhan penelitian dan rumusan masalah.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan deskriptif dalam analisis
data, yang bertujuan memberikan gambaran atau penjelasan terperinci tentang subjek
dan objek penelitian sebagaimana ditemukan dalam hasil penelitian yang telah
dilakukan penulis (Mukti Fajar & Achmad, 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kepastian Hukum Bagi Pelaku Bisnis Pelayaran Dalam Mencapai Keamana
Investasi di Perairan Indonesia
Transportasi laut memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. Di
negara kepulauan seperti Indonesia, tidak dapat disangkal bahwa infrastruktur
transportasi laut telah menjadi penopang utama dalam mobilitas dan distribusi barang
dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Dari sudut pandang ekonomi dan bisnis, infrastruktur
transportasi laut dinilai cukup efisien dalam mendukung aktivitas ekonomi, yang pada
gilirannya memberikan keuntungan tambahan bagi para pelaku usaha serta pemerintah
daerah terkait.
Teori kepastian hukum adalah konsep yang sangat penting dalam bidang hukum
dan diterapkan di berbagai sektor, termasuk bisnis pelayaran. Kepastian hukum (legal
certainty) merupakan prinsip utama dalam penegakan hukum yang berarti bahwa
hukum harus dapat diprediksi, dilaksanakan secara konsisten, jelas, dan ditegakkan
dengan cara yang adil (Kordela, 2008). Dari pendapat tersebut, dapat diinterpretasikan
bahwa hukum tidak ditegakkan tanpa adanya kepastian hukum karena kepastian hukum
berperan sebagai prinsip utama yang bertujuan untuk membimbing masyarakat dalam
Muhamad Rigel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6576 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
mematuhi hukum serta melindungi mereka dari tindakan sewenang-wenang pemerintah
akibat kekuasaan yang dimiliki dalam merumuskan dan menerapkan aturan hukum
(Maxeiner, 2010).
Kepastian hukum adalah salah satu dari tiga prinsip dalam penegakan hukum yang
diperkenalkan oleh Gustav Radbruch, selain prinsip kemanfaatan dan keadilan
(Rahmatullah, 2021). Kepastian hukum diperlukan untuk menjamin bahwa penegakan
hukum dilakukan secara adil tanpa memandang siapa pelaku tindakan hukum (tanpa
diskriminasi), sehingga setiap orang dapat meramalkan konsekuensi dari tindakan
hukum tertentu. Kepastian hukum dapat dipahami dapat sebagai kejelasan norma yang
berfungsi sebagai panduan bagi masyarakat yang terikat oleh peraturan (Wijayanta,
2014). Dengan demikian, diharapkan terdapat kejelasan dan ketegasan mengenai
penerapan hukum dalam masyarakat, sehingga tidak muncul berbagai interpretasi yang
berbeda (Prayogo, 2016). Dengan kata lain, harus ada jaminan bahwa hukum
ditegakkan, pihak-pihak yang berhak menurut hukum dapat memperoleh hak-hak
mereka, dan keputusan hukum dapat dilaksanakan (Asikin & Sh, 2019).
Dalam konteks bisnis pelayaran di Indonesia, kepastian hukum sangat berperan
dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi para pelaku usaha. Pelaku bisnis di
sektor ini memerlukan aturan yang jelas, stabil, dan dapat diandalkan agar mereka dapat
menjalankan aktivitas mereka dengan efisien dan merasa aman dalam melakukan
investasi. Hubungan antara teori kepastian hukum dan bisnis pelayaran di perairan
Indonesia mencakup berbagai aspek penting, mulai dari kepatuhan hukum, keselamatan,
hingga jaminan investasi.
Bisnis pelayaran di Indonesia beroperasi dalam lingkungan yang sangat
terstruktur, di mana aturan hukum terkait izin, keselamatan, perlindungan lingkungan,
dan keamanan sangatlah penting. Pelaku bisnis di sektor ini bergantung pada sistem
hukum yang kuat untuk memastikan bahwa mereka dapat menjalankan aktivitas
bisnisnya secara aman, mengelola risiko, dan merencanakan investasi jangka panjang.
Dalam bisnis pelayaran di Indonesia, kepastian hukum merupakan faktor kunci
dalam menarik investasi dan memberikan rasa aman bagi pelaku bisnis. Salah satu
aspek yang diperhatikan guna memberikan kepastian hukum bagi pelaku bisnis
pelayaran adalah keselamatan pelayaran.
Dilihat dari aspek negara hukum modern (welfare state), khususnya dalam hal
keselamatan pelayaran, pemerintah memiliki tanggung jawab yang lebih luas. Tugas
pemerintah mencakup penyelenggaraan kesejahteraan umum (bestuurszorg) yang
mengharuskan pemerintah untuk melakukan berbagai aktivitas atau tindakan guna
memastikan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks bisnis pelayaran, melalui
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pemerintah memberikan
kepastian hukum untuk menjamin keselamatan pelayaran.
Salah satu instrumen kunci dari keselamatan pelayaran adalah peran
Kesyahbandaran dalam menerbitkan Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan
Berlayar (SPB), dimana salah satu peran krusial Syahbandar terlihat dari
kewenangannya untuk memeriksa, menyimpan, dan menerbitkan dokumen-dokumen
Kepastian Hukum Terhadap Keamanan Investasi Bagi Pelaku Bisnis Pelayaran di
Perairan Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6577
yang diperlukan untuk angkutan laut (kapal) agar dapat melakukan pelayaran serta
kegiatan bongkar muat barang. Dokumen atau surat-surat tersebut meliputi sertifikat
kelaiklautan kapal, surat persetujuan berlayar, surat persetujuan berlabuh, surat
keterangan barang muatan, sertifikat pendaftaran kapal, sertifikat garis muat
internasional, sertifikat perlengkapan keselamatan, sertifikat radio dan telegrap
keselamatan, kwitansi penerimaan bea mercusuar Indonesia untuk pelayaran terakhir,
serta izin masuk-keluar dari pelabuhan terakhir yang disinggahi (Bayuputra, 2015).
Sebagaimana telah diuraikan, Penerbitan Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat
Persetujuan Berlayar (SPB) dapat dikategorikan sebagai tindakan hukum pemerintah
untuk memastikan keselamatan bagi pelaku bisnis pelayaran. Menurut H.J. Romeijn,
tindakan hukum pemerintah adalah tindakan yang dilakukan oleh organ pemerintahan
atau administrasi negara yang bertujuan untuk menghasilkan konsekuensi hukum dalam
ranah pemerintahan atau administrasi negara (Windari & SH, 2021).
Tindakan hukum pemerintah merupakan pernyataan kehendak sepihak dari organ
pemerintahan yang memiliki akibat hukum atau menciptakan keadaan hukum tertentu.
Oleh karena itu, kehendak dari organ tersebut tidak boleh mengandung cacat, seperti
kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog), paksaan (dwang), dan lain-lain, yang dapat
mengakibatkan konsekuensi hukum yang tidak sah. Selain itu, setiap tindakan
pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sehingga tindakan tersebut tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan
terkait, yang dapat mengakibatkan akibat hukum yang dihasilkan menjadi batal (nietig)
atau dapat dibatalkan (nietigbaar) (Windari & SH, 2021).
Pemerintah berfungsi sebagai subjek hukum, yang bertanggung jawab terhadap
hak dan kewajiban. Seperti subjek hukum lainnya, pemerintah melakukan berbagai
tindakan, baik tindakan nyata (feitelijkhandelingen) maupun tindakan hukum
(rechtshandelingen). Tindakan nyata tidak terkait dengan hukum dan tidak
menghasilkan konsekuensi hukum, sementara tindakan hukum, menurut R.H.J.M.
Huisman, adalah tindakan yang dapat menghasilkan akibat hukum. Ia menyatakan
bahwa "tindakan hukum bertujuan untuk menciptakan hak dan kewajiban." (Windari &
SH, 2021)
Terdapat dua jenis tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah, yaitu
tindakan hukum berdasarkan hukum publik (publiekrechttelijke handeling) dan tindakan
hukum berdasarkan hukum privat (privatrechttelijke handeling). Kedua jenis tindakan
ini berkaitan dengan peran pemerintah sebagai institusi yang memegang jabatan
pemerintahan (ambtsdrager) serta sebagai badan hukum (Windari & SH, 2021).
Salah satu institusi pemerintah yang bertanggung jawab atas keselamatan kapal
adalah Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Utama. Dalam konteks
pelaksanaan pengawasan terhadap ketertiban pelabuhan dan keselamatan kapal,
Syahbandar memiliki kewenangan untuk menerapkan peraturan perundang-undangan
yang bertujuan untuk (Windari & SH, 2021):
1. Menjamin kelancaran dan keselamatan kedatangan serta keberangkatan kapal.
2. Menjamin keselamatan dan kelancaran dalam proses bongkar muat barang.
Muhamad Rigel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6578 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
3. Menjamin kelancaran dan ketertiban dalam naik turunnya penumpang.
4. Menjamin penegakan hukum dan keamanan di pelabuhan.
5. Menjamin kelestarian lingkungan di dalam pelabuhan.
Setiap kapal yang akan berlayar diwajibkan memiliki Surat Ijin Berlayar (SIB)
atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Oleh karena itu, sebelum Syahbandar
mengeluarkan SIB atau SPB (port clearance), perlu dilakukan pemeriksaan terhadap
kelengkapan dokumen kapal dan lainnya. Jika tidak ada hal yang bertentangan dengan
peraturan, surat ijin berlayar dapat diterbitkan. Namun, jika terdapat pelanggaran atau
kekurangan pada kapal, surat ijin berlayar tidak dapat diberikan, dan Nahkoda atau
perusahaan pelayaran diharuskan untuk (RUSLI & Sari, 2014) :
1. Melengkapi kekurangan yang ada.
2. Menurunkan muatan atau penumpang jika melebihi batas.
3. Menyelesaikan dokumen yang sudah tidak berlaku.
Pengangkutan laut terjadi ketika kedua belah pihak, yaitu penyedia jasa
pengangkutan dan pengguna jasa, membuat kesepakatan. Subjek dari perjanjian
pengangkutan mencakup semua pihak yang terlibat dalam proses pengangkutan, yang
memiliki status hukum yang diakui sebagai pemegang hak dan kewajiban dalam
pengangkutan. Objek dari perjanjian ini mencakup barang yang diangkut (muatan),
biaya pengangkutan, serta sarana transportasi yang digunakan. Muatan tersebut dapat
berupa berbagai jenis barang dan hewan yang diizinkan secara hukum oleh undang-
undang (Fatahillah, 2015)
Pentingnya peran transportasi laut bagi kehidupan masyarakat membuat
pemerintah, melalui Kementerian Perhubungan, merasa perlu untuk menetapkan
regulasi terkait. Aturan tersebut mencakup proses pendaftaran kapal yang akan
beroperasi, jenis kapal yang sesuai dengan kondisi perairannya, seleksi untuk merekrut
nakhoda dan awak kapal yang profesional sesuai dengan keahlian mereka, serta
berbagai aspek administratif lainnya.
Segala bentuk pengaturan mengenai sarana dan prasarana transportasi laut
didasarkan pada berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan Perairan, serta Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 20 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Pelayaran, dan
peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan transportasi laut (Utomo & Laut,
2017).
Pejabat Kesyahbandaran yang memeriksa kelengkapan teknis dan persyaratan
kapal, serta nakhoda dan pemilik kapal, harus memastikan dengan seksama bahwa kapal
memenuhi kelaiklautan sebelum berlayar di laut. Jika ketentuan ini tidak dipatuhi,
nakhoda dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 302 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Mengoperasikan kapal tanpa
memenuhi persyaratan kelaiklautan dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 3 tahun dan
denda maksimal Rp400.000.000,-. Jika pelanggaran tersebut menyebabkan kerugian
harta benda, hukuman dapat diperpanjang hingga 4 tahun penjara dan denda maksimal
Kepastian Hukum Terhadap Keamanan Investasi Bagi Pelaku Bisnis Pelayaran di
Perairan Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6579
Rp500.000.000,-. Jika tindakan nakhoda tersebut mengakibatkan kematian penumpang
atau kerugian harta benda, hukumannya bisa mencapai 10 tahun penjara dan denda
maksimal Rp1.500.000.000,-.
Philipus Hadjon menyatakan bahwa izin merupakan salah satu instrumen yang
sering digunakan dalam hukum administrasi untuk mengatur perilaku masyarakat Ini
menunjukkan bahwa izin adalah alat hukum yang dipakai pemerintah untuk mengontrol
perilaku warga. Izin dapat berupa pendaftaran, sertifikat rekomendasi, penetapan kuota,
serta izin untuk menjalankan usaha, yang biasanya harus dimiliki oleh perusahaan atau
individu sebelum melakukan tindakan yang akan menghasilkan hak dan kewajiban bagi
pemohon (Maulana & Jamhir, 2019).
Penerbitan Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) adalah
langkah penting dalam memastikan keselamatan dan kelayakan kapal sebelum
melakukan pelayaran di perairan Indonesia. Proses ini melibatkan berbagai tahapan
yang harus diikuti untuk menjamin bahwa semua kapal yang berlayar memenuhi standar
keamanan dan operasional yang ditetapkan oleh pemerintah. Berikut adalah uraian
lengkap mengenai alur penerbitan Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan
Berlayar (SPB):
1. Pengajuan permohonan
Proses penerbitan surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar
(SPB) dimulai dengan pengajuan permohonan oleh penyewa atau pemilik kapal.
Mereka harus mengajukan permohonan ke Syahbandar setempat, yang merupakan
instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas pengawasan pelayaran. Dalam
permohonan ini, penyewa harus melampirkan berbagai dokumen penting, seperti
dokumen kapal, sertifikat kelayakan, rencana perjalanan, dan informasi lainnya yang
relevan. Dokumen-dokumen ini memberikan gambaran menyeluruh tentang kapal
dan rencana operasionalnya.
2. Pemeriksaan kelayakan kapal
Setelah menerima permohonan, Syahbandar akan mengutus inspektur untuk
melakukan pemeriksaan langsung terhadap kapal yang dimohonkan. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk menilai berbagai aspek kelayakan kapal, termasuk kondisi fisik,
peralatan keselamatan, serta sistem navigasi dan komunikasi. Inspektur akan
memeriksa apakah semua peralatan yang diperlukan untuk keselamatan pelayaran
tersedia dan berfungsi dengan baik. Selain itu, inspektur juga akan memastikan
bahwa kapal memenuhi semua regulasi yang ditetapkan oleh undang-undang yang
berlaku.
3. Rekomendasi inspektur
Berdasarkan hasil pemeriksaan, inspektur akan membuat laporan dan
memberikan rekomendasi kepada Syahbandar. Jika kapal dinyatakan layak dan
memenuhi semua syarat, inspektur akan merekomendasikan agar Surat Ijin Berlayar
(SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) diterbitkan. Namun, jika ditemukan
kekurangan atau masalah selama pemeriksaan, inspektur akan mencatatnya dan
meminta pemilik kapal untuk melakukan perbaikan terlebih dahulu sebelum Surat
Muhamad Rigel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6580 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) dapat diterbitkan. Proses
ini penting untuk memastikan bahwa hanya kapal yang benar-benar layak yang
diberikan izin untuk berlayar.
4. Penerbitan
Setelah menerima rekomendasi dari inspektur, Syahbandar akan memproses
penerbitan Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB). Surat ini
berfungsi sebagai izin resmi bagi kapal untuk melaut, menandakan bahwa kapal
tersebut telah memenuhi semua syarat keselamatan dan kelayakan yang ditetapkan.
Penerbitan Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) tidak
hanya menjadi formalitas, tetapi juga merupakan tanggung jawab hukum bagi
Syahbandar untuk menjamin keselamatan pelayaran di perairan Indonesia.
5. Dokumentasi dan penyerahan
Setelah Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB)
diterbitkan, surat tersebut akan diserahkan kepada penyewa atau pemilik kapal.
Mereka harus membawa dokumen ini selama pelayaran sebagai bukti bahwa kapal
tersebut memiliki izin resmi untuk beroperasi. Penyimpanannya harus dilakukan
dengan baik, karena SIB dapat diminta oleh pihak berwenang selama pemeriksaan di
laut.
6. Pengawasan selama pelayaran
Selama kapal berlayar, Syahbandar dan perangkat terkait di perairan akan terus
memantau operasional kapal. Mereka akan memastikan bahwa kapal menjalankan
operasinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan selalu dalam kondisi aman.
Pengawasan ini penting untuk mengurangi risiko insiden yang dapat membahayakan
keselamatan pelayaran.
7. Pemeriksaan kembali (jika diperlukan)
Jika selama pelayaran terjadi masalah, seperti kerusakan atau insiden lainnya,
kapal dapat diperiksa kembali oleh Syahbandar. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengevaluasi kondisi kapal dan memastikan bahwa kapal masih layak untuk
beroperasi. Tindakan ini merupakan bagian dari upaya berkelanjutan untuk menjaga
keselamatan pelayaran di perairan Indonesia.
Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa
penerbitan Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) memberikan
kepastian hukum bahwa kapal telah memenuhi semua persyaratan keselamatan dan
keamanan pelayaran. Dari pengajuan permohonan hingga pengawasan selama
pelayaran, setiap tahap dirancang untuk memastikan bahwa kapal yang berlayar
memenuhi standar keamanan dan kelayakan yang ditetapkan.
Salah satu aspek penting dari penerbitan Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat
Persetujuan Berlayar (SPB) adalah pelaku bisnis pelayaran berkewajiban untuk
mematuhi regulasi yang berlaku. Setiap kapal yang ingin berlayar harus melalui
serangkaian pemeriksaan yang mencakup aspek keselamatan, kelayakan kapal, serta
kelengkapan dokumen. Hal ini menciptakan kepastian hukum, di mana pelaku usaha
pelayaran dapat beroperasi dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan, sehingga
Kepastian Hukum Terhadap Keamanan Investasi Bagi Pelaku Bisnis Pelayaran di
Perairan Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6581
mengurangi risiko hukum di kemudian hari. Selain itu, kepastian hukum yang diberikan
oleh Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) juga berdampak
positif terhadap kepercayaan masyarakat terhadap industri pelayaran. Masyarakat dan
pengguna jasa pelayaran akan merasa lebih aman dan nyaman menggunakan layanan
kapal yang telah memenuhi semua persyaratan hukum. Ini pada gilirannya dapat
meningkatkan volume bisnis di sektor pelayaran, karena lebih banyak orang yang
bersedia untuk berinvestasi dan menggunakan jasa pelayaran.
Ketika kapal berlayar dengan Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan
Berlayar (SPB) yang sah, semua pihak yang terlibatbaik pemilik kapal, penyewa,
maupun awak kapal mendapatkan perlindungan hukum. Jika terjadi insiden di laut,
adanya izin yang valid menjadi dasar untuk menegakkan tanggung jawab. Misalnya,
jika kapal mengalami kecelakaan, pelaku bisnis dapat merujuk pada Surat Ijin Berlayar
(SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) untuk menentukan apakah mereka
mematuhi semua persyaratan. Hal ini mengurangi risiko tuntutan hukum yang dapat
merugikan secara finansial dan reputasi.
Kepastian hukum yang diberikan oleh penerbitan Surat Ijin Berlayar (SIB) atau
Surat Persetujuan Berlayar (SPB) juga berdampak positif pada iklim investasi di sektor
bisnis sewa kapal. Investor cenderung lebih percaya untuk berinvestasi dalam bisnis
yang memiliki regulasi yang jelas dan kepastian hukum. Dengan adanya jaminan bahwa
kapal yang disewakan aman dan memenuhi standar keselamatan, pelaku bisnis dapat
beroperasi dengan lebih percaya diri. Hal ini juga mendorong pertumbuhan industri
maritim secara keseluruhan, karena lebih banyak pelaku bisnis yang ingin terlibat.
Penerbitan Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) juga
berkaitan dengan tanggung jawab sosial dan perlindungan lingkungan. Kapal yang tidak
memenuhi standar lingkungan dapat menyebabkan pencemaran yang merugikan
ekosistem laut. Dengan adanya regulasi ketat dalam penerbitan izin berlayar,
pemerintah dapat memastikan bahwa hanya kapal yang ramah lingkungan yang
diperbolehkan beroperasi. Ini tidak hanya melindungi lingkungan, tetapi juga
meningkatkan citra bisnis sewa kapal di mata publik.
Dari berbagai uraian di atas, penulis dapat memberikan kesimpulan bahwa Surat
Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB) menjamin kepastian hukum
kapal yang disewa memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan, melindungi hak dan
kewajiban semua pihak yang terlibat, serta menciptakan lingkungan bisnis yang sehat.
Dengan proses penerbitan yang transparan dan akuntabel, pelaku bisnis dapat beroperasi
dengan percaya diri, mendukung pertumbuhan industri maritim yang berkelanjutan dan
bertanggung jawab. Dalam hal ini, kepastian hukum bukan hanya sekadar dokumen,
tetapi merupakan fondasi bagi kelangsungan dan keamanan bisnis di sektor pelayaran.
Tantangan yang Dihadapi Pelaku Bisnis Pelayaran di Perairan Indonesia
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, pelaku bisnis pelayaran di perairan
Indonesia pada sektor sewa kapal adalah individu atau entitas yang bergerak di bidang
pelayaran seperti penyediaan layanan penyewaan kapal untuk berbagai keperluan,
Muhamad Rigel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6582 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
seperti pengangkutan barang, penumpang, eksplorasi sumber daya alam, atau kegiatan
industri lain di laut (Maulana & Jamhir, 2019).
Dalam sektor pelayaran, pelaku bisnis bertanggung jawab atas pengoperasian
kapal secara aman dan sesuai dengan peraturan maritim yang berlaku di Indonesia,
seperti pengurusan Surat Izin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB),
memastikan kapal layak laut, dan mematuhi standar keselamatan pelayaran. Pelaku
bisnis pelayaran juga harus menjaga hubungan baik dengan pihak regulator serta
menjalankan kegiatan sewa kapal dalam batas hukum yang ditetapkan pemerintah.
Meskipun pemerintah Indonesia telah berusaha menciptakan kepastian hukum di
sektor pelayaran, namun pelaku bisnis pelayaran di perairan Indonesia menghadapi
berbagai tantangan yang kompleks dan beragam. Beberapa tantangan dalam bisnis
pelayaran meliputi:
Inkonsistensi Penegakan Hukum
Salah satu masalah utama yang dihadapi pelaku bisnis di Indonesia adalah
inkonsistensi dalam penegakan hukum. Kadang-kadang, aturan yang jelas di atas kertas
tidak diterapkan dengan benar di lapangan. Hal ini dapat menciptakan ketidakpastian
bagi investor, yang khawatir bahwa peraturan mungkin tidak ditegakkan secara adil atau
konsisten.
Kebijakan terkait maritim memang tidak diatur secara khusus dalam undang-
undang tersendiri, namun tercantum dalam berbagai regulasi lainnya, seperti yang
mengatur tentang pelayaran (Thahira, Syofyan, Daulay, & Ferdi, 2023). Saat ini,
kondisi bisnis pelayaran tidak pasti karena banyak instansi yang melakukan
pemeriksaan, harusnya tidak semua instansi yang melakukan pemeriksaan. Banyaknya
lembaga yang memiliki kewenangan dalam pengamanan dan penegakan hukum di laut
dapat menimbulkan potensi konflik antara satu lembaga dengan yang lainnya (Saifulloh
& Simabura, 2023).
Bergitu juga halnya dengan pengamanan laut di Indonesia (Saifulloh & Simabura,
2023) yang melibatkan setidaknya enam lembaga, yaitu: TNI AL, Korps Polisi Perairan
(Polair), Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla), Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai (Ditjen Bea Cukai), Direktorat Jenderal Pengawas Sumber Daya Kelautan
dan Perikanan (Ditjen PSDKP) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), serta
Badan Keamanan Laut (Bakamla). Banyaknya lembaga yang terlibat dalam
pengamanan laut menimbulkan tantangan terkait kewenangan kelembagaan. Perbedaan
interpretasi terhadap regulasi, terutama terkait wewenang, seharusnya tidak dibiarkan
berlarut-larut karena dapat menghambat perencanaan dan pelaksanaan kebijakan
pembangunan, serta berpotensi mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Keterlibatan
berbagai lembaga dalam penegakan hukum di laut justru menimbulkan masalah
tersendiri, di mana setiap lembaga cenderung memiliki pandangan yang berbeda dan
mengklaim tanggung jawab yang sama, sehingga sering terjadi gesekan antar lembaga
dalam praktiknya (Suharni & Arman, 2023). Apalagi Setiap lembaga diberikan
wewenang yang sah, yaitu kekuasaan yang melekat pada lembaga atau pejabat terkait
untuk melakukan tindakan yang diperlukan demi memastikan pelaksanaan tugas dengan
Kepastian Hukum Terhadap Keamanan Investasi Bagi Pelaku Bisnis Pelayaran di
Perairan Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6583
baik, sesuai dengan kompetensi, yurisdiksi, dan otoritas yang ditetapkan oleh hukum
(Luthan, 2007).
Dalam konteks bisnis sewa kapal, inkonsistensi dalam penegakan hukum terkait
bisnis sewa kapal sering menjadi permasalahan tersendiri bagi pelaku usaha di sektor
pelayaran. Ketidakjelasan mengenai aturan dan tanggung jawab kapal dapat
menciptakan ketidakpastian yang merugikan, baik bagi penyewa maupun pemilik kapal.
Menurut penulis, beberapa aspek yang menggambarkan inkonsistensi dalam
penegakan hukum terkait tanggung jawab kapal di bisnis sewa kapal adalah:
a. Perbedaan interpretasi hukum oleh berbagai instansi
Salah satu sumber inkonsistensi adalah adanya perbedaan interpretasi regulasi
oleh berbagai instansi yang terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukum di laut.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa di Indonesia, banyak lembaga yang
memiliki kewenangan dalam pengaturan pelayaran, seperti Kementerian
Perhubungan, TNI AL, Polair, Bea Cukai, hingga Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Masing-masing instansi terkadang memiliki pandangan yang berbeda tentang
tanggung jawab kapal, baik terkait keselamatan, pemeliharaan, atau kepatuhan
terhadap regulasi. Akibatnya, pelaku bisnis sewa kapal sering kali menghadapi
ketidakpastian dalam memenuhi persyaratan hukum.
Misalnya, satu instansi mungkin menekankan kepatuhan terhadap aspek
keselamatan kapal, sementara instansi lain fokus pada aspek legalitas dokumen
kepemilikan atau izin berlayar. Inkonsistensi ini menyebabkan ketidakpastian
hukum, di mana perusahaan pelayaran tidak dapat memprediksi dengan pasti aturan
mana yang lebih diutamakan atau sanksi apa yang mungkin mereka hadapi.
b. Kekaburan tanggung jawab antara penyewa dan pemilik kapal
Masalah lain yang sering muncul dalam bisnis sewa kapal adalah kekaburan
terkait pembagian tanggung jawab antara penyewa dan pemilik kapal. Dalam kontrak
sewa kapal, biasanya ada kesepakatan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas
aspek-aspek tertentu, seperti pemeliharaan kapal, keselamatan awak kapal, dan
kepatuhan terhadap hukum pelayaran. Namun, dalam praktiknya, penegakan hukum
sering kali tidak konsisten dalam menegaskan batas-batas tanggung jawab ini.
Sebagai contoh, ketika terjadi insiden atau kecelakaan, pihak berwenang sering kali
tidak jelas tentang siapa yang bertanggung jawabapakah penyewa yang
mengoperasikan kapal, atau pemilik kapal yang memiliki kewajiban untuk
memastikan kapal dalam kondisi baik. Ketidakpastian ini bisa berujung pada
perselisihan hukum yang berkepanjangan, memperlambat penyelesaian masalah, dan
menambah beban finansial bagi kedua belah pihak.
c. Ketidakjelasan tentang kewajiban kapal terhadap lingkungan
Tanggung jawab lingkungan juga menjadi salah satu aspek yang sering kali
dihadapi pelaku bisnis sewa kapal. Peraturan mengenai pembuangan limbah, polusi
laut, dan tanggung jawab atas kerusakan lingkungan laut tidak selalu ditegakkan
secara konsisten. Dalam beberapa kasus, instansi yang berbeda dapat memiliki
Muhamad Rigel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6584 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
pandangan yang berbeda mengenai siapa yang harus bertanggung jawab atas
pelanggaran lingkungan, terutama jika kapal tersebut sedang disewa.
Sebagai contoh, ketika terjadi pelanggaran lingkungan, seperti tumpahan
minyak, tidak selalu jelas apakah tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan
penyewa yang mengoperasikan kapal, ataukah pemilik kapal juga ikut bertanggung
jawab. Ketidakjelasan ini memperumit proses hukum dan sering kali mengakibatkan
kesulitan dalam menegakkan sanksi yang tepat.
d. Sanksi yang tidak konsisten
Dalam kasus pelanggaran regulasi, sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku
bisnis sewa kapal sering kali tidak konsisten. Ada situasi di mana pelanggaran serupa
dapat menghasilkan hukuman yang berbeda, tergantung pada wilayah hukum atau
interpretasi otoritas setempat. Sebagai contoh, pelanggaran terkait keselamatan kapal
di satu wilayah mungkin hanya mendapat peringatan, sementara di wilayah lain
dapat dikenakan denda besar atau bahkan penahanan kapal. Inkonistensi dalam
penjatuhan sanksi ini tidak hanya membingungkan, tetapi juga menciptakan rasa
ketidakadilan di kalangan pelaku bisnis. Mereka merasa tidak ada standar yang jelas
dan seragam dalam menegakkan hukum, yang pada akhirnya mengganggu
perencanaan operasional dan memperbesar risiko bisnis.
e. Pengaruh terhadap kepercayaan investor dan pelaku usaha
Ketidakpastian hukum dan inkonsistensi dalam penegakan aturan berdampak
langsung pada kepercayaan investor dan pelaku usaha di sektor pelayaran. Bisnis
sewa kapal sangat bergantung pada kejelasan aturan dan prediktabilitas penegakan
hukum untuk mengelola risiko dan menjaga keberlangsungan usaha. Ketika hukum
ditegakkan secara tidak konsisten, hal ini menurunkan tingkat kepercayaan terhadap
sistem hukum yang ada dan dapat membuat investor enggan berinvestasi lebih lanjut
di sektor ini.
Kurangnya kepercayaan terhadap kepastian hukum juga menghambat pelaku
usaha untuk mengembangkan bisnisnya secara lebih agresif, karena mereka takut
menghadapi masalah hukum yang tidak terduga di masa depan. Hal ini dapat
mempengaruhi pertumbuhan sektor pelayaran secara keseluruhan, khususnya dalam
bisnis sewa kapal.
Berkaitan dengan penegakan hukum dalam bidang pelayaran, Pemerintah
sepakat bentuk Indonesian Coast Guard melalui fusi antara BAKAMLA (Badan
Keamanan Laut) dan KPLP (Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Republik
Indonesia) sebagai Badan Penegakan Hukum di bawah Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia yang bertugas
mengamankan pelayaran di wilayah perairan Indonesia.
Birokrasi yang berbelit-belit
Birokrasi yang berbelit-belit dalam bisnis sewa kapal menjadi salah satu hambatan
terbesar bagi pelaku usaha di sektor pelayaran, terutama terkait tanggung jawab kapal
dan pengurusan izin berlayar. Proses yang rumit dan memakan waktu sering kali
Kepastian Hukum Terhadap Keamanan Investasi Bagi Pelaku Bisnis Pelayaran di
Perairan Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6585
menciptakan ketidakpastian dan memperlambat operasional kapal. Dalam bisnis yang
sangat bergantung pada efisiensi waktu seperti pelayaran, birokrasi yang panjang dapat
menyebabkan kerugian besar bagi pelaku bisnis, baik dalam hal biaya operasional
maupun kepercayaan klien.
Menurut penulis, beberapa aspek yang menggambarkan masalah birokrasi dalam
bisnis sewa kapal diantaranya adalah:
Proses perizinan berlayar yang kompleks
Untuk mendapatkan izin berlayar, atau Surat Izin Berlayar (SIB) atau Surat
Persetujuan Berlayar (SPB), pelaku bisnis sewa kapal harus melalui berbagai tahapan
administrasi yang melibatkan beberapa instansi pemerintah. Proses pengurusan izin ini
sering kali memakan waktu karena harus melalui banyak meja pemeriksaan, mulai dari
pihak pelabuhan, otoritas keamanan laut, hingga Kementerian Perhubungan.
Setiap instansi yang terlibat memiliki prosedur dan persyaratan yang berbeda,
yang mengakibatkan proses menjadi lebih panjang dan berbelit. Selain itu, dokumen
yang diperlukan sering kali harus disiapkan dalam jumlah banyak, dengan rincian yang
sangat teknis. Misalnya, data teknis kapal, sertifikat kelayakan, bukti pembayaran pajak,
hingga dokumen asuransi semuanya harus disertakan. Tidak jarang, pelaku usaha
terjebak dalam proses birokrasi yang berulang-ulang, di mana satu dokumen yang
kurang lengkap dapat menghambat seluruh proses izin.
Ketidakjelasan tanggung jawab kapal antara penyewa dan pemilik
Dalam bisnis sewa kapal, pembagian tanggung jawab antara penyewa dan pemilik
kapal terkait izin berlayar sering kali tidak jelas. Meskipun tanggung jawab operasional
kapal berada pada penyewa, pihak pemilik kapal juga harus memastikan bahwa kapal
yang disewakan telah memenuhi semua persyaratan yang diperlukan untuk
mendapatkan izin.
Dalam praktiknya, birokrasi terkait perizinan dapat membuat proses tersebut
semakin rumit. Misalnya, dalam kasus tertentu, penyewa kapal mungkin harus
menunggu konfirmasi dari pemilik kapal terkait dokumen yang perlu diperbarui atau
diperbaiki. Situasi ini menambah panjangnya waktu pengurusan izin, karena adanya
ketergantungan antara kedua pihak yang tidak selalu selaras. Selain itu, jika terjadi
masalah atau pelanggaran terkait izin berlayar, tidak selalu jelas siapa yang harus
bertanggung jawab secara hukumapakah pemilik kapal yang memiliki kapal, atau
penyewa yang mengoperasikan kapal. Hal ini menambah kompleksitas dalam
menyelesaikan masalah izin berlayar secara cepat dan tepat.
Koordinasi antar instansi yang kurang efektif
Salah satu penyebab birokrasi yang berbelit-belit adalah kurangnya koordinasi
antar instansi yang berwenang dalam mengurus izin dan tanggung jawab kapal.
Sebagaimana diketahui, beberapa lembaga memiliki kewenangan dalam pengawasan
kapal, seperti Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, TNI AL, Badan Keamanan Laut
(Bakamla), serta pihak otoritas pelabuhan.
Muhamad Rigel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6586 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Setiap lembaga ini memiliki aturan dan prosedur yang berbeda terkait
pemeriksaan kapal, yang sering kali menyebabkan tumpang tindih tugas dan tanggung
jawab. Dalam beberapa kasus, pelaku bisnis kapal harus menjalani pemeriksaan yang
sama oleh beberapa instansi, yang memperpanjang waktu pengurusan izin.
Ketidakjelasan ini tidak hanya mempersulit pelaku usaha, tetapi juga meningkatkan
biaya operasional yang tidak perlu. Selain itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh instansi
tertentu kadang-kadang tidak sinkron dengan kebijakan instansi lain, sehingga pelaku
usaha harus bolak-balik untuk memenuhi persyaratan yang berubah atau bertentangan.
Hal ini memperlambat proses pengurusan izin dan membuat pelaku bisnis sulit
memprediksi kapan kapal mereka bisa mendapatkan izin berlayar.
Biaya tambahan yang membebani
Birokrasi yang rumit sering kali mengakibatkan pelaku bisnis harus mengeluarkan
biaya tambahan yang tidak terduga. Selain biaya resmi untuk pengurusan dokumen dan
perizinan, ada juga biaya-biaya lain yang muncul akibat lambatnya proses birokrasi.
Misalnya, kapal yang harus menunggu izin berlayar terbit bisa terkena biaya sandar
tambahan di pelabuhan, sementara bisnis tetap harus menanggung biaya awak kapal dan
pemeliharaan selama masa tunggu.
Tidak jarang, pelaku usaha terpaksa menggunakan jasa pihak ketiga atau perantara
untuk mempercepat proses perizinan, yang menambah beban biaya. Dalam beberapa
kasus, praktik informal atau pembayaran tidak resmi menjadi pilihan untuk
mempercepat birokrasi yang lambat, meskipun hal ini berpotensi menimbulkan risiko
hukum di kemudian hari.
Dampak terhadap kompetitifitas bisnis
Birokrasi yang rumit dan lambat dalam pengurusan izin dan tanggung jawab kapal
berpengaruh langsung terhadap daya saing pelaku bisnis sewa kapal. Pelaku usaha yang
harus berhadapan dengan birokrasi yang berbelit-belit mungkin kehilangan kesempatan
bisnis, terutama dalam hal penyewaan kapal untuk keperluan waktu tertentu seperti
proyek infrastruktur, wisata, atau pengangkutan barang. Ketidakmampuan untuk
mengatur waktu dengan baik karena proses izin yang lama membuat pelaku bisnis tidak
kompetitif dibandingkan dengan perusahaan yang mungkin memiliki akses lebih mudah
ke izin atau beroperasi di negara dengan sistem birokrasi yang lebih sederhana.
Korupsi dalam penegakan hukum
Korupsi masih menjadi masalah dalam sistem hukum Indonesia, yang dapat
mengganggu kepastian hukum. Pelaku bisnis pelayaran mungkin menghadapi masalah
ketika proses perizinan atau sengketa hukum dipengaruhi oleh korupsi, yang dapat
merusak kepercayaan terhadap sistem hukum.
Korupsi dalam penegakan hukum pada bisnis sewa kapal dapat berdampak
langsung terhadap efisiensi dan keberlanjutan operasional di sektor pelayaran. Terutama
ketika berhubungan dengan tanggung jawab kapal dan pengurusan izin berlayar seperti
Kepastian Hukum Terhadap Keamanan Investasi Bagi Pelaku Bisnis Pelayaran di
Perairan Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6587
Surat Izin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan Berlayar (SPB), praktik-praktik korupsi
bisa menciptakan ketidakpastian, menambah biaya operasional, dan menghambat iklim
bisnis yang sehat. Dalam sektor yang sangat kompetitif seperti pelayaran, korupsi dapat
menghancurkan kepercayaan pelaku usaha dan memperburuk reputasi sistem hukum
serta birokrasi di suatu negara.
Menurut penulis, beberapa aspek yang menjelaskan bagaimana korupsi berperan
dalam penegakan hukum di bisnis sewa kapal dan pengurusan izin berlayar:
Korupsi dalam proses pengurusan izin berlayar
Salah satu area utama di mana korupsi sering terjadi adalah dalam proses
pengurusan izin berlayar. Mengingat izin berlayar sangat penting untuk memastikan
kapal dapat beroperasi sesuai dengan peraturan, waktu pengurusan izin menjadi krusial.
Sayangnya, dalam beberapa kasus, pejabat yang bertanggung jawab atas pengeluaran
izin terlibat dalam praktik suap atau pungutan liar untuk mempercepat proses
pengurusan.
Prosedur pengajuan izin, yang seharusnya berlangsung secara transparan dan
cepat, sering kali diperlambat oleh oknum birokrat yang memanfaatkan kompleksitas
birokrasi untuk keuntungan pribadi. Pelaku bisnis yang tidak ingin berhadapan dengan
penundaan yang panjang sering kali merasa terpaksa memberikan "uang pelicin" agar
izin dapat segera dikeluarkan. Ini menciptakan ketidakadilan bagi perusahaan yang
tidak terlibat dalam praktik tersebut, sekaligus mengurangi kredibilitas otoritas yang
bertanggung jawab.
Korupsi dalam pengurusan izin berlayar juga membuat biaya operasional bisnis
sewa kapal menjadi lebih mahal. Pengusaha tidak hanya harus mengeluarkan biaya
resmi yang diatur oleh pemerintah, tetapi juga biaya tambahan yang tidak resmi untuk
mempercepat proses. Hal ini menyebabkan peningkatan biaya sewa kapal yang pada
akhirnya dibebankan kepada klien, mengganggu daya saing perusahaan pelayaran di
pasar.
Manipulasi dalam penegakan aturan keselamatan dan tanggung jawab kapal
Selain izin berlayar, korupsi juga sering terjadi dalam penegakan aturan
keselamatan dan tanggung jawab kapal. Aturan yang mengharuskan kapal memenuhi
standar keselamatan tertentu, baik terkait struktur kapal, perlengkapan keselamatan,
maupun kelayakan awak kapal, sering kali tidak ditegakkan dengan benar karena
adanya suap.
Misalnya, dalam beberapa kasus, pihak yang seharusnya melakukan inspeksi
terhadap kapal mungkin melewati pemeriksaan penting atau memberikan sertifikat
kelayakan secara tidak sah karena diberi imbalan. Hal ini sangat berbahaya, karena
kapal yang tidak memenuhi standar keselamatan tetap dapat berlayar dan beroperasi,
meningkatkan risiko kecelakaan di laut. Dampak dari praktik korupsi ini bisa sangat
merugikan, terutama jika terjadi kecelakaan di mana tanggung jawab atas keselamatan
kapal menjadi dipertanyakan.
Muhamad Rigel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6588 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Ketidakpastian ini menciptakan dilema bagi pelaku bisnis sewa kapal yang ingin
menjaga reputasi mereka. Jika mereka terlibat dalam praktik-praktik suap untuk
menghindari pengawasan yang ketat, mereka mungkin mampu mengurangi biaya
operasional jangka pendek, namun risiko jangka panjang terkait keselamatan kapal dan
potensi kecelakaan tetap tinggi. Sebaliknya, jika mereka mencoba mematuhi semua
aturan dengan benar, mereka mungkin kalah bersaing dengan perusahaan lain yang
beroperasi di bawah pengaruh korupsi.
Korupsi dalam penegakan hukum laut oleh instansi yang berwenang
Penegakan hukum di laut melibatkan berbagai instansi. Dengan banyaknya
lembaga yang berwenang, potensi terjadinya korupsi semakin besar. Setiap lembaga
memiliki peran dalam pengawasan kapal dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan
pelayaran. Namun, dalam beberapa kasus, ada oknum di instansi-instansi ini yang
memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi.
Sebagai contoh, dalam pelaksanaan tugas pengawasan atau penegakan hukum di
laut, beberapa petugas mungkin sengaja menemukan pelanggaran kecil untuk dijadikan
alasan meminta uang suap. Pelaku bisnis pelayaran, terutama yang bergantung pada
ketepatan waktu dan efisiensi operasi, sering kali merasa tidak punya pilihan selain
memberikan suap agar masalah segera diselesaikan dan kapal mereka dapat berlayar
tanpa gangguan. Praktik semacam ini memperburuk iklim bisnis karena pelaku usaha
tidak dapat memastikan kapan mereka akan menghadapi masalah yang sama di masa
depan. Ini juga meningkatkan biaya operasional karena pelaku bisnis harus
mengeluarkan uang tambahan yang tidak terduga, mengurangi keuntungan mereka, dan
memperburuk kepercayaan terhadap sistem penegakan hukum.
Efek korupsi terhadap kompetisi dan daya saing usaha
Korupsi dalam bisnis sewa kapal dan penegakan hukum terkait izin berlayar
menciptakan ketidaksetaraan dalam kompetisi bisnis. Perusahaan yang terlibat dalam
praktik suap untuk mempercepat izin atau menghindari inspeksi keselamatan mungkin
dapat beroperasi lebih cepat dan dengan biaya lebih rendah dibandingkan perusahaan
yang berusaha mematuhi hukum dengan jujur. Akibatnya, perusahaan yang mencoba
bermain sesuai aturan bisa kalah dalam persaingan karena biaya dan waktu yang lebih
besar untuk mematuhi semua peraturan dengan benar. Selain itu, korupsi juga
menciptakan persepsi bahwa pelanggaran hukum dapat dengan mudah "dibeli" atau
diselesaikan dengan uang. Ini merusak reputasi industri pelayaran di mata investor dan
pemangku kepentingan internasional.
Jika sektor pelayaran dipandang sebagai industri yang korup, akan sulit menarik
investasi asing atau membangun kemitraan dengan perusahaan internasional yang ingin
beroperasi di pasar yang transparan dan adil.
KESIMPULAN
Kepastian Hukum Terhadap Keamanan Investasi Bagi Pelaku Bisnis Pelayaran di
Perairan Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6589
Mengacu pada hasil penelitian, beberapa kesimpulan yang diperoleh yakni Aturan
hukum yang berlaku bagi pelaku bisnis pelayaran di perairan Indonesia tidak hanya
menjadi kerangka kerja untuk menjalankan bisnis, tetapi juga melindungi kepentingan
semua pihak yang terlibat. Aturan hukum bagi pelaku bisnis pelayaran di Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. mengatur
berbagai aspek yang penting bagi para pelaku bisnis pelayaran di perairan Indonesia.
Undang-undang ini bertujuan untuk memberikan dasar hukum yang kuat dalam
pengelolaan transportasi laut, keselamatan pelayaran, dan kelancaran aktivitas bisnis
pelayaran. Selain itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
memberikan landasan hukum yang komprehensif dalam mengelola segala aspek terkait
kelautan di Indonesia, termasuk aturan untuk pelaku bisnis pelayaran. Indonesia sebagai
negara maritim memiliki kepentingan strategis untuk mengatur bisnis pelayaran dan
aktivitas kelautan guna melindungi sumber daya laut, menjaga kedaulatan wilayah
perairan, serta mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sektor kelautan.
Implementasi aturan hukum yang berlaku bagi pelaku bisnis pelayaran di perairan
Indonesia berkaitan dengan kepastian hukum adalah menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi para pelaku usaha. Pelaku bisnis sewa kapal memerlukan aturan yang
jelas, stabil, dan dapat diandalkan dalam menjalankan aktivitas serta merasa aman
dalam melakukan investasi. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran mengatur secara rinci tentang keselamatan pelayaran, termasuk syarat-syarat
teknis kapal, kelaiklautan kapal prosedur navigasi, dan perlindungan terhadap awak
kapal. Selain itu, Pasal 124 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha sewa kapal tentang standar
keselamatan yang harus dipenuhi, sehingga pelaku bisnis dapat menghindari atau
meminimalisir risiko terjadinya kecelakaan yang dapat merugikan bisnisnya akibat
pelanggaran aturan. Salah satu instrumen kunci dari keselamatan pelayaran adalah peran
Kesyahbandaran dalam menerbitkan Surat Ijin Berlayar (SIB) atau Surat Persetujuan
Berlayar (SPB). Tantangan yang dihadapi dihadapi pelaku bisnis pelayaran di perairan
Indonesia diantaranya adalah inkonsistensi dalam penegakan hukum, birokrasi yang
berbelit-belit, serta korupsi dalam penegakan hukum. Misalnya dalam beberapa kasus,
penyewa kapal harus menunggu konfirmasi dari pemilik terkait dokumen yang perlu
diperbarui, yang memperlambat proses izin. Ketergantungan antara keduanya membuat
pengurusan lebih lama. Selain itu, jika terjadi masalah atau pelanggaran terkait izin
berlayar, tidak selalu jelas siapa yang harus bertanggung jawab secara hukum apakah
pemilik kapal yang memiliki kapal, atau penyewa yang mengoperasikan kapal
.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. (2021). Metode penelitian hukum. Sinar Grafika.
Asikin, H. Zainal, & Sh, S. U. (2019). Hukum acara perdata di Indonesia. Prenada
Media.
Bayuputra, Tenda Bisma. (2015). Tinjauan Yuridis Mengenai Peran Syahbandar Dalam
Kegiatan Pelayaran Angkutan Laut Di Indonesia. Lex et Societatis, 3(3).
Darajati, Muhammad Rafi. (2023). Ekonomi Biru: Peluang Implementasi Regulasi Di
Muhamad Rigel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak
6590 Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024
Indonesia. TheJournalish: Social and Government, 4(5), 4153.
Fatahillah, Fatahillah. (2015). Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna
Jasa Transportasi di Darat atas Kehilangan dan Kerusakan Barang Kiriman.
REUSAM: Jurnal Ilmu Hukum, 3(1), 89103.
Jonaedi Efendi, S. H. I., Johnny Ibrahim, S. H., & Se, M. M. (2018). Metode Penelitian
Hukum: Normatif dan Empiris. Prenada Media.
Kordela, Marzena. (2008). The principle of legal certainty as a fundamental element of
the formal concept of the rule of law. Rev. Notariat, 110, 587.
Luthan, Salman. (2007). Hubungan Hukum dan Kekuasaan. Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, 14(2).
Maulana, Rifqy, & Jamhir, Jamhir. (2019). Konsep Hukum Perizinan Dan
Pembangunan. Jurnal Justisia: Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-Undangan Dan
Pranata Sosial, 3(1), 90115.
Maxeiner, James R. (2010). Some realism about legal certainty in the globalization of
the rule of law. In The Rule of Law in Comparative Perspective (pp. 4155).
Springer.
Minangkabau, Afrizal F. (2021). Tinjauan Yuridis Mutu Keselamatan Speedboat
Sebagai Moda Transportasi Laut Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. Universitas Komputer Indonesia.
Mukti Fajar, N. D., & Achmad, Yulianto. (2010). Dualisme penelitian hukum: normatif
& empiris. Pustaka pelajar.
Prayogo, R. Tony. (2016). Penerapan asas kepastian hukum dalam peraturan mahkamah
agung nomor 1 tahun 2011 tentang hak uji materiil dan dalam peraturan mahkamah
konstitusi nomor 06/PMK/2005 tentang pedoman beracara dalam pengujian
undang-undang. Jurnal Legislasi Indonesia, 13(2), 191201.
Rahmatullah, I. (2021). Filsafat Hukum Aliran Studi Hukum Kritis (Critical Legal
Studies). Konsep Dan Aktualisasinya Dalam Hukum Indonesia’,’Adalah, 5(3), 1
10.
RUSLI, ZAILI, & Sari, Julia Purnama. (2014). Pengawasan syahbandar dalam upaya
mewujudkan keselamatan, keamanan, dan ketertiban penumpang di Pelabuhan
Tembilahan. Riau University.
Saifulloh, Putra Perdana Ahmad, & Simabura, Charles. (2023). Penataan Lembaga
Pengamanan Dan Penegakan Hukum Laut Berdasarkan Cita Hukum Pancasila.
Jurnal Rechts Vinding: Media Pembinaan Hukum Nasional, 12(3).
Salim, H. S. (2013). Penerapan teori hukum pada penelitian tesis dan disertasi.
Satria, Arif. (2015). Politik Kelautan dan Perikanan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Suharni, Melaniati, & Arman, Yohanes. (2023). Upaya Mengatasi Tumpang Tindih
Kewenangan Di Wilayah Perbatasan Laut Indonesia. Eksekusi: Jurnal Ilmu Hukum
Dan Administrasi Negara, 1(3), 91105.
Thahira, Atika, Syofyan, Syofirman, Daulay, Zainul, & Ferdi, Ferdi. (2023). The
Outside of Port Limit (OPL) as a new maritime zone to overcome marine pollution
due to oil sludge impacting the coast of Bintan, Indonesia to actualise sustainable
development. BIO Web of Conferences, 70, 2001. EDP Sciences.
Utomo, Hari, & Laut, TNIA. (2017). Siapa yang bertanggung jawab menurut hukum
dalam kecelakaan kapal (legally responsible parties in ship accident). Jurnal
Legislasi Indonesia, 14(1), 5960.
Wijayanta, Tata. (2014). Asas kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan dalam
kaitannya dengan putusan kepailitan pengadilan niaga. Jurnal Dinamika Hukum,
Kepastian Hukum Terhadap Keamanan Investasi Bagi Pelaku Bisnis Pelayaran di
Perairan Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 10, Oktober 2024 6591
14(2), 216226.
Windari, Ratna Artha, & SH, M. H. (2021). Pengantar Hukum Indonesia-Rajawali
Pers. PT. RajaGrafindo Persada.
Copyright holder:
Muhamad Rigel, Andrew Betlen, Mangisi Simanjuntak (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: