Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�����
Vol. 3, No. 2, Februari 2021
PALEOPRODUKTIVITAS FORMASI TAPAK BANYUMAS
BERDASARKAN BUKTI MIKROFOSIL
Bayu Awifan Dwijaya, Romanus Edy Prabowo, Gentur
Waluyo, Imam Prayitno dan Ardo Ramdhani
Universitas
Jenderal Soedirman dan PPPTMGB LEMIGAS (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi) Purwokerto, Jawa Tengah, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected] [email protected]
dan [email protected]
Abstract
Tapak formation is a formation that is known to experience many changes in the
ancient environment. This research was conducted in Tapak
Formation, Mount Tugel, Banyumas
Regency using bentonik and nannofosil
foraminifera. Relative age analysis showed the sample age was around the
initial pliocene, i.e. NN14
to no younger than NN15 (4.2 million years ago to lower than 3.5 million years
ago). Paleoecological dynamics observed from
abundance and diversity of microfossils experienced a decreased tendency from
older samples to younger samples. Changes in paleoproductivity
were observed based on primary and secondary productivity, where older samples
tended to be higher than younger ones. Toc (Total Organic Carbon) content in
older samples has a higher value than younger samples. The value of CaCO3
relatively increased in the younger direction, but in the A21N sample the
percentage increased dramatically.
Keywords: fosi biodiversity;
paleoecology; paleoproductivity
Abstrak
Formasi Tapak merupakan formasi yang sedikit menyimpan informasi
dikarenakan kondisinya yang cenderung banyak mengalami disturbansi. Penelitian
ini dapat melengkapi informasi ilimiah yang tidak banyak diteliti pada Formasi
Tapak serta bertujuan untuk merekonstruksi kodisi paleoproduktivitasnya
menggunakan foraminifera bentonik dan nannofosil. Analisis umur relatif
menunjukkan umur sampel sekitar pliosen awal, yaitu NN14 hingga tidak lebih
muda dari NN15 (4,2 juta tahun yang lalu hingga lebih rendah dari 3,5 juta
tahun yang lalu). Dinamika paleoekologi diamati dari kelimpahan dan diversitas
mikrofosil mengalami kecenderungan yang menurun dari sampel lama ke sampel yang
lebih muda. Perubahan paleoproduktivitas diamati berdasarkan produktivitas
primer dan skunder, dimana sampel yang lebih tua cenderung lebih tinggi nilainya dari pada yang lebih muda. Kandungan TOC (Total
Organic Carbon) pada sampel yang lebih tua memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan
sampel yang lebih muda. Nilai CaCO3 relatif meningkat ke arah yang lebih muda,
tetapi pada sampel A21N persentasenya meningkat secara dramatis.
Kata kunci: biodiversitas fosi; paleoekologi;
paleoproduktivitas
Pendahuluan
Organisme selalu
berinteraksi dengan lingkunganya, dan interaksi ini merupakan sistem ekologi
yang berkesinambungan. Perubahan pada lingkungan yang terjadi menyebabkan
perubahan dalam sistem ekologi dan struktur organisme dalam lingkungan
tersebut. Dalam pengukuran perubahan lingkungan purba dapat menggunakan
pendekatan mikropaleontologi untuk merekonstruksi keberadaan organisme serta
lingkungan di masa lalu dengan menggunakan mikrofosil bercangkasng seperti
foraminifera dan nannofosil. Bukti mikrofosil, dapat digunakan untuk
merekonstruksi masukan bahan organik purba yang terdapat dalam batuan. Fokus
utama penelitian ini adalah pengungkapan informasi paleoekologi mikrofosil dan
kaitanya dengan paleoproduktifitas yang terdapat dalam batuan sedimen Formasi
Tapak Gunung Tugel dalam Cekungan Banyumas.
Cekungan Banyumas terletak
di Jawa Tengah bagian selatan. Letak cekungan di daerah Banyumas sehingga
disebut Cekungan Banyumas yang terdiri dari beberapa sub cekungan. Cekungan
Banyumas termasuk kawasan dinamis yang mempunyai beberapa formasi batuan dengan
umur geologi waktu pengendapan beragam, sehingga memberi gambaran ekologi
berupa fluktuasi lingkungan berbagai periode waktu dari masa lampau hingga
sekarang. Salah satu formasi batuan pada Cekungan Banyumas yang menarik untuk
diteliti adalah Formasi Tapak. Penyusun formasi ini berupa batupasir kasar
berwarna kehijauan dan konglomerat serta dijumpai breksi andesit. Bagian atas
terdiri atas batupasir karbonatan dan napal berwarna hijau yang mengandung
pecahan moluska. Formasi ini memiliki ketebalan 500 m dan diendapkan pada
lingkungan transisi sampai laut (Djuri, Samodra, Amin, & Gafoer, 1996). Penelitian ini menggunakan
sampel sedimen yang diambil di area penambangan Gunung Tugel untuk melihat
perubahan struktur komunitas mikrofosil yang terbentuk dengan kondisi
paleoekologi dan pengaruh paleoproduktifitas ekosistem yang ditinjau dari
masukan beban organik serta kandungan oksigen purba menggunakan fungsi
transfer. Penelitian ini dapat
melengkapi informasi ilimiah yang tidak banyak diteliti pada Formasi Tapak
serta bertujuan untuk merekonstruksi kodisi paleoproduktivitasnya menggunakan
foraminifera bentonik dan nannofosil.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan
metode kuantitatif dengan data yang diperoleh berasal dari data
hasil pengukuran langsung berupa struktur dan komunitas fosil serta data fungsi
transfer. Janis data yang di dapat pada struktur dan komunitas fosil adalah
data rasio, data tersebut setelah dianalisis normanlitas datanya adlah jenis
data parametrik. Variabel yang� didapat
untuk analisis ini berasal dari transfer fungsi berbagai pendekatan purba,
sehingga banyaknya jumlah variabel yang digunakan merujuk analisis menggunaka
analisis multivariat.
1.
Lokasi dan Waktu
Gambar 1
Peta
Lokasi Pengambilan Sampel berdasarkan Citra Google 2015
Penelitian ini dilakukan di daerah
penambangan batu di Gunung Tugel, Banyumas dan Laboratorium Nannofosil PPPTMGB
LEMIGAS (Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi)
selama bulan Februari hingga Maret 2015. Lokasi penelitian diketahui sebagai
Formasi Tapak Cekungan Banyumas dengan koordinat 7o 28� 34.19� LS dan 109o 14� 03.16� BT yang merupakan singkapan bentuk outcrop
pada ketinggian 70 m dpl, dengan jarak lintasan sejauh 180 m dan total
ketebalan sedimen setelah dikoreksi sebesar 7,45 cm. lokasi ini termasuk
dalam wilayah eks-Karesidenan Banyumas, Jawa Tengah bagian selatan.
2.
Teknik Pengambilan
Sampel dan Cara Kerja
Penelitian ini mencari data berupa data
nominal dan data ordinal. Data nominal berupa pemerian yang didapatkan di
lapangan dalam bentuk pemerian batuan dan litologi satuan batuan yang
didapatkan di lapangan. Data ordinal diperoleh dengan mengamati paleoekologi
pada struktur komunitas fosil foraminifera bentonik dan nannofosil serta
variabel paleoenvironment. Paleoenvironment merupakan variabel
lingkungan yang diprediksi akan mempengaruhi kondisi paleoekologi. Paleoenvironment
yang dievaluasi meliputi Total Organic Carbon (TOC), CaCO3, Oksigen Purba. Paleoekologi yang diamati adalah
struktur dan komposisi fosil foraminifera bentonik dan nannofosil,
paleoproduktifitas primer serta paleoproduktifitas sekunder. Penelitian ini
menggunakan metode survei dengan teknik pengambilan sampel yang dilakukan
berupa stratified sampling melalui pengukuran penampang stratigrafi
(PPS). Sampel diambil sepanjang 180 m dengan 36 titik sampel.
Selanjutnya batuan tersebut dideskripsikan sebagai sampel dalam pemerian
terhadap setiap fasises litologi yang ditemukan.
Preparasi dilakukan untuk mendapatkan
mikrofosil. Keberadaan foraminifera bentonik dan nannoplankton akan diamati
dibawah mikroskop setelah sampel dipreparasi. Dalam preparasi foraminifera
diperlukan sampel sedimen sebanyak 200 gr yang dibungkus menggunakan kain dan
selanjutnya ditumbuk menggunakan palu. Setelah ditumbuk sampel dipindahkan ke
dalam mangkok alumunium lalu diberi larutan H2O2
(Hidrogen Peroksida) 30%. Setelah itu sampel dicuci dengan air yang mengalir di
atas tiga saringan yang dari atas ke bawah berukuran 80-120-140 mesh, hasil
ketiga saringan yang tersaring dimasukkan kedalam mangkuk porselin dan
dikeringkan di dalam oven (�50OC).
Sampel residu kering siap untuk dipicking, diamati dan dideterminasi
menggunakan mikroskop setereo binokuler.
Preparasi nannofossil diperoleh dengan menimbang �10 gram sampel yang masih
segar kemudian dibersihkan dari kotoran yang masih menempel dengan cutter.
Sampel ditumbuk menggunakan mortar dan pastel sampai halus, sebagian sampel
dimasukan kedalam tabung kemudian diberi akuades dan diputar menggunakan alat
vibrator ultrasonik vortex kurang lebih 5-10 menit hingga larut. Biarkan
suspensi mengendap selama �5 menit dan dibuang airnya, dilakukan pengulangan
satu kali ditambah lagi akuades dan dilarutkan kembali. Setelah mengendap
dengan pipet kecil atau sedotan diteteskan 1�2 tetes suspensi larutan diatas
gelas objek kemudian diteteskan larutan Cellosiece sekitar 1�2 tetes dan diratakan
agar sampel kering tidak retak. Sampel dipanaskan diatas hot-plate (thermoscientific)
sampai airnya hilang atau kering. Setelah kering teteskan lem entelan 1 tetes
kemudian ditutup dengan cover glass dan ditunggu hingga kering.
Selanjutnya diamati dibawah mikroskop polarisasi dan diidentifikasi.
Evaluasi geokimia berupa karbon sedimen
bertujuan untuk mengetahui kandungan karbon yang diperkirakan berhubungan erat
dengan produktifitas dan keberadaan fosil foraminifera bentonik maupun
nannofosil. Evaluasi karbon dilakukan, meliputi total karbon, total karbon
organik dan total karbon inorganik. Sampel yang akan dievaluasi dibersihkan dan
dikeringkan dengan suhuh 90oC
selama 24 jam, kemudian sampel ditumbuk hingga halus. Evaluasi Total Karbon
dilakukan dengan menimbang 100 mg sampel sedimen yang kemudian dibakar
menggunakan LECO IR 212 analyser pada suhu 1050oC. Selama proses pembakaran akan menghasilkan
depletor CO2, kemudian diukur
dengan infra red detector. Evaluasi Total Karbon Inorganik dilakukan dengan
menimbang 100 mg sampel yang diukur dengan melarutkan sampel dengan HCl di
dalam calcimetric bomb. CO2 yang dihasilkan dari pencernaan HCl dihitung dengan pressure
measurement. Evaluasi Total Karbon Organik dihitung antara selisih total
karbon dengan total karbon inorganik dengan asumsi bahwa semua karbonat
merupakan kalsit (CaCO3) alami yang mempresentasikan sumber karbon inorganik
(Dijk et al., 2019).
Diversitas spesies
fosil baik foraminifera bentonik mauapun nannofosil dihitung menggunakan indeks
diversitas Shannon Wiener. Principal Component Analysis (PCA) atau juga
dikenal dengan analisis komponen utama. PCA dalam penelitian ini untuk
membangkitkan nilai analasis dari variabel surrogate yang
digunakan dalam mentukan spesies penciri produktifitas primer purba. Paleoproduktivitas
dapat diamati dengan mengukur kelimpahan dari spesies yang diindikasikan
sebagai penciri produktivitas. Dimana akan dibagi menjadi dua kelompok sebagai
spesies penciri kaya nutrisi dan sebagai spesies penciri miskin nutrisi
menggunakan analisis kuantitatif hasil PCA. (Herrle, Pross, Friedrich,
K��ler, & Hemleben, 2003)��
� (1)
Keterangan :
Hf���������������������� :
spesies penciri High fertility
Lf���������������������� :
spesies penciri Low fertility
Prod p��� :
Produktifitas primer purba
Kelimpahan relatif foraminifera bentonik
epifauna dan infauna dapat digunakan sebagai proxy terhadap tingkat aliran
bahan organik yang berpengaruh terhadap produktifitas purba yang tertangkap
dalam jerapan sedimen. Berdasarkan pengmatan cangkang (test) eksternal secara
simetri dan geometri, foraminifera bentonik terbagi menjadi 7 kelompok menurut (Mattioli, Pittet, Petitpierre, & Mailliot,
2009).
Morphogroup A, unisrial, elongated dan spesies yang termasuk kelompok
ini berasal dari genera Paralingalina dan Ichthyolaria. Morphogroup
B, elongated, dan foraminifera berbentuk Spindle seperti Eoguttalina. Morphogroup
C, bentuk uniserial, elongated dan cylindrical (Prodentalina,
Mesodentlina, Pseudonodosaria, Nodosaria dan Marginulina). Morphogroup D,
bentuk flat, evolute dan planispiral (Astacolus dan
Lenticulina). Morphogroup E, foraminifera berbentuk Lenticuler, strongly biconvex, involute,
planispiral (Lenticulina). Morphogroup F, cangkang discoid
proloculus yang diikuti dengan tidak terbaginya kamar tubuler kedua
(Spirillina). Morphogroup G, bentuk trochospiral dan conical
(Epistomina, Reinholdella). Berdasarkan kesamaan morfologi dengan
taxa recent, maka dapat diperkirakan bahwa morphogroup
A, B dan C merupakan kelompok foraminifera bentonik infauna sedangkan
morphogroup D, E, F dan G merupakan kelompok foraminifera bentonik epifauna.
Kandungan oksigen purba merefleksikan
keadaan lingkungan kaitanya dengan keberadaan beban organik perairan dalam
suatu ekosistem purba. Semakin tinggi kandungan bahan organik dalam suatu
perairan diperkirakan dapat menurunkan kandungan oksigen suatu perairan. Fungsi
transfer oksigen dapat diterapkan sebagai proxy terhadap kandungan
oksigen di masa purba menurut formula berikut (Kouwenhoven & Van der Zwaan, 2006):
������������������������������ ��� (2)
Keterangan:
Taksa Oksifilik: merupakan taksa
yang menyukai lingkungan dengan kandungan oksigen tinggi
Hasil dan Pembahasan
Hasil
observasi lapangan didapatkan litologi berupa batupasir berwarna kehijauan dan
abu-abu sehingga membentuk Satuan Batu Pasir. Tipe sedimen yang didapatlan di
lapangan secara detil meliputi batu pasir kasar, batu pasir sedang, batu pasir
halus, batu pasir-lempungan, batu lempung pasiran dan batu lempung. Beberapa
sampel, ditemukan cangkang makro dari Moluska maupun Bivalvia, hal ini
mengindikasikan bahwa lingkungan purba pada sampel tersebut dalam kondisi lingkungan
perairan.
Gambar 2
Grafik Litologi dan plot log
kelimpahan dari total kelimpahan, diversitas nannofosil serta diversitas
foraminifera bentonik
Berdasarkan
grafik pada gambar 2 (total kelimpahan: gabungan antara komunitas nannofossil
dengan foraminifera bentonik) maka dapat diketahui bahwa kondisi tersebut
terjadi karena perubahan muka air laut yang menyebabkan penurunan jumlah
komunitas fosil. Maximum Flooding Surface (MFS) dan Sequence Boundary
(SB) dapat dideteksi dengan puncak tertinggi dan lembah terendah dari
kemunculan dan/atau frekuensi kemunculan mikrofosil (Cohen, 2017). Fosil cenderung sensitif terhadap perubahan dinamika
sedimentasi dalam suatu cekungan, pengembangan data dalam komunitas suatu fosil
dapat digunakan untuk mengetahui sistem perubahan eustasi dan mengkarakteristik
sistem saluran dan batas sekuens (Cohen, 2017), (Arvestal
& Willman, 2020). Kondisi dalam penelitian ini mengalami
pendangkalan (regresi) yang meyebabkan hilangnya spsies dari komunitas nannofossil maupun fosil foraminifera bentonik. Berdasarkan
kelimpahan total baik komunitas nannofosil maupun fosil foraminifera bentonik,
dimulai dari A10N samapai A1N, terlihat menurun (lihat lampiran 4-7 dan lampiran
13-16). Hal ini sesuai dengan kondisi yang berbanding terbalik terhadap data
fosil darat pada tempat yang sama dengan penelitian ini (Suedy, 2012). (Suedy, 2012) menjelaskan bahwa pada sampel yang ditelitinya pada formasi
dan lokasi yang sama, memperlihatkan trend berbanding terbalik dengan
objek pollen yang memiliki arti sama dengan penelitian ini, yaitu lapisan yang
muda (sampel dengan nomor kecil, misalnya A1N) cenderung semakin membentuk
daratan (regresi). Berdasarkan data, baik hasil observasi mikroskopis
nannofossil maupun fosil foraminifera bentonik, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat tiga kelompok kejadian dalam sikuens stratigrafi
ini. Lingkungan laut purba dalam penelitian ini mengalami dua kali MFS dan satu
SB. MFS
adalah Bidang genang laut maksimal yang terbentuk pada saat fase genang laut
maksimum. SB adalah suatu bidang keselarasan dan keselarasan padanannya
yang terjadi selama jangka waktu penurunan relatif permukaan laut ((Armstrong & Brasier,
2013)), (Arvestal
& Willman, 2020).
Hasil
observasi mikroskopis yang telah dilakukan di Formasi Tapak Kabupaten Banyumas
daerah Gunung Tugel menunjukan bahwa terdapat 41 spesies dari 12 famili
nannofosil dengan jumlah individu teramati sebanyak 4844 individu. Famili tersebut
meliputi Pontosphaeraceae, Rhabdosphaeraceae, Thoracosphaera,
Calyptrosphaeracae, Cocolithaceae, Syracopsphaeraceae, Sphenolithaceae,
Calcidiscaceae, Ceratolithaceae, Noelaerhabdaceae, Discoasteraceae dan Helicosphaeraceae.
Formasi Tapak ini diprediksi merupakan daerah payau di saat lampau yang
dibuktikan dengan kemunculan spesies penciri lingkungan payau seperti Helicopsphaera
carteri, Reticulufenestra minuta dan Calcidiscus leptoporus.
Gambar 3
Perbesaran 1000X menggunakan mikroskop polarisasi A.
Cocolithus pelagicus; B. Sphenolithus abies; C. Discoaster asymetricus; D.
Reticulofenestra pseuoumbilicus; E Amaroulithus tricorniculatus; F.
Helicosphaera selii; G. Pseudoemiliana ovata; H. Reticulofenstra minutula; I.
Umbilicosphaera rotula; J. Discoaster variabilis
Hasil
analisis Indeks Shanon untuk nannofosil memperlihatkan bahwa diversitas sampel
dalam penelitian ini menjelaskan bahwa lingkungan purba saat lampau pada penelitian
ini realtif stabil pada sampel yang lebih tuda, kemudian diversitas menurun pada
sampel yang lebih muda . Dari keseluruhan sampel didapatkan 6 spesies dengan
nilai INP >10% yaitu, Sphenolithus abies (36.22%), Cocolithus
pelagicus (14.68%), Helicopsphaera selii (14.23%), Reticulufenestra
minutula (10.1%), Ponthopshaera ovata (18.44%) dan Umbilicosphaera
rotula (10.41%). Spesies-spesies tersebut merupakan spesies yang sanggup
tinggal di berbagai pengaruh dan perubahan lingkungan dalam studi ini.
Hasil observasi
mikroskopis dengan nilai dari Indeks Nilai Penting pada foraminifera bentonik
diatas 10% meliputi, Ammonia becarii, Rotalinoides compressiuscula
(synonym name: Pseudorotalia gaimardii), Quinqueloculina
seminula, Nonion sp. dan Asterorotalia pulchella. Individu
foraminifera bentonik yang diobservasi dibawah mikroskop sebanyak 54.933 individu, yang termasuk dalam 67 spesies,
14 ordo dan 30 famili dari foraminifera bentonik, yang meliputi, Rotaliidae,
Hauerinidae, Nonionidae, Elphidiidae, Ellipsolagenidae, Bolivinidae,
Stilostomellidae, Rhabdaminnidae, Soritidae, Spirillinidae, Alveolinidae,
Buliminidae, Uvigerinidae, Fursenkoinidae, Plectofrondiculariidae,
Amphisteginidae, Vaginulinidae, Orbitolinidae, Siphonogenerinoididae,
Planulinidae, Cibicididae, Spiroloculinidae, Uvigerinidae, Calcarinidae,
Elphidiidae, Cassidulinidae, Cassidulinidae, Siphonogenerinoididae, Nodosariidae dan
Bolivinidae.
Gambar 4
Perbesaran 40X menggunakan
mikroskop stereo A. Ammonia becarii; B. Rotalinoides gaimardii;
C. Cibicides sp.; D. Quiqueloculina seminula; E. Nonion sp.;
F. Asterorotalia pulchella
Hasil
analisis indeks Shanon untuk foraminifera bentonik memperlihatkan bahwa
diversitas yang cenderung rendah terdiri dari A1N-A8N dan A10N. Diversitas
sedang meliputi A9N dan A27N. Sampel A21N tidak dapat dievaluasi karena tidak
ditemukan sama sekali kemberadaan mikrofosil foraminifera sehingga data paleoekologi
tidak representatif (lihat pembahasan geokimia). Diversitas tinggi merupakan
sampel yang tidak disebutkan dari sampel diatas sebelumnya, hal ini menjelaskan
bahwa lingkungan purba saat lampau pada penelitian ini realtif stabil pada
sampel yan lebih tua, kemudian mengalami penurunan diversitas pada sampel yang
lebih muda.
Hasil
analisis umur relatif menunjukan bahwa sampel berada pada selang NN14-tidak
lebih muda dari N15. Hal ini dicirikan dengan kemunculan D. asymetricus
sebagai penciri batas bawah NN14 dan A. tricorniculatus sebagai batas
atas NN14, sedangkan S. abies dan R. pseudoumbilicus sebagai
penciri batas umur relatif yang tidak lebih muda dari NN15 (gambar 5). Kondisi
lingkungan pengendapan pada sampel penelitian ini tepat berada dibatas fasies
antara pliosen awal bagian atas yang memisahkan fasies dengan pliosen akhir,
hal tersebut dikarenakan terjadinya MFS (Maximum Flooding Surface)
setelah sebelumnya terbentuk SB (Sequence Boundary) atau di kenal dengan
susut laut (lihat gambar 2). Hal tersebut sesuai dengan laporan� (Corn�e et al., 2016) yang menunjukan susut laut pada kala pliosen telah terjadi
lima kali, dimana salah satunya ada pada pliosen awal bagian atas yang
dicirikan dengan kejadian susut laut sebanyak dua kali.
Lingkungan
pengendapan dianalisis berdasarkan kemunculan spesies indikator foraminiera
bentonik. Hasil penelitian menjelaskan bahwa lokasi sampel penelitian mengalami
perubahan batrimetri purba dalam pembentukan lingkungan pengendapan berdasarkan
fosil yang telah ditemukan selama observasi laboratorim. Perubahan tersebut
terjadi dari tua ke-muda dimulai dari inner meritic yang kemudian
berselang-seling dengan middle neritic. Perubahan tersebut
berangsur-angsur hingga berubah menjadi area perselingan litoral-supralitoral.
Hal ini terjadi karena saat Kala Pliosen bumi mengalami penurunan suhu yang
sangat signifikan, kondisi ini umum di kenal sebagai waktu pra ice age.
Kondisi dimana seluruh permukaan air laut di bumi menyusut, dan mempengaruhi
kondisi paleobatrimetri. Walaupun demikian perubahan tersebut tidak hanya
dipengaruhi kondisi iklim global, melainkan juga dipengaruhi kemungkinan
kemunculan tektonik lokal, dimana pada waktu yang sama, terbentuk gunung api
purba di seluruh pulau jawa (dari miosen tengah hingga pliosen akhir) termasuk
Gunung Slamet yang sekarang masih aktif dan diprediksi bertanggung jawab pada
perubahan batrimetri saat pembentukan Pulau Jawa (dimulai dari pembentukan zama
pra-tersier) (Forestier, 2007).
Gambar 5
Kolom umur relatif
berdasarkan distribusi biostratigrafi, S. abies dan R. pseudoumbilicus
(NN14-tidak lebih muda dari NN15) serta D. asymetricus (NN14)
Perubahan
paleobatrimetri diketahui memang terjadi dari Pliosen hingga Plistosen (Haywood et al., 2016). Hal ini terjadi karena saat Kala Pliosen Pulau Jawa
dipengaruhi kemunculan tektonik lokal, yaitu karena pengaruh sesar berdasarkan
struktur dari pola meratus dan pola keraton, sehingga lokasi penelitian mengalami
puncak tension dari pergerakan lempang yang terjadi di saat purba. Pada
waktu yang sama, terdapat pembentukan gunung api (aktivitas gunung api/kejadian
Mio-Pliosen) purba di seluruh pulau jawa (dari miosen tengah hingga pliosen
akhir) termasuk Gunung Slamet yang diprediksi merupakan dampak dari sesar baik
pola meratus dan pola keraton yang juga berimplikasi terhadap perubahan
batrimetri (berupa pengangkatan lapisan/regresi, A36N-A8N) saat terjadi proses
perubahan morfologi Pulau Jawa (dimulai dari pembentukan zama pra-tersier) ((Lumbanbatu, Hidayat,
Sukapti, & Patriani, 2014).
Spesies
indikator untuk lingkungan litoral-supralitoral adalah kemunculan Ammonia
becarii, spesies tersebut dikenal sebagai foraminifera yang kosmopolit terhadap
pengaruh lingkungan, namun spesies ini cenderung lebih senang didaerah dengan pasokan nutrisi tinggi, oleh sebab itu, kemunculanya
diprediksi karena lingkungan pengendapan saat lampau berada dekat dengan
pengaruh daratan dan/atau influx air tawar (Bhadury & Sen, 2020), �(Takata, Hasegawa, &
Sonoda, 2019). Spesies indikator yang ditemukan dalam menentukan wilayah
inner neritic meliputi, Amphistegina sp., Cibicides sp., Nonion
sp., Asterorotalia pulchella, dan Quinqueloculina lamarckiana (Kholiq & Wibowo, 2016). Spesies tersebut cenderung membutuhkan oksigen dengan
sifatnya oksifilik (Cibicides sp.) dan kebutuhan nutrisi (Quinqueloculina
lamarckiana dan Amphistegina sp.) yang cukup (Wilson, 2008), oleh sebab itu mereka digunakan sebagai spesies indikator
untuk lingkungan inner neritic (lemigas). Lingkungan middle neritic
pada penelitian ini dicirikan dengan kemunculan kelompok Nodosaria dan
Dentalina (Kholiq & Wibowo, 2016).
Perubahan lingkungan pengendapat dapat dilihat pada Gambar 6. Kolom tersebut menunjukan perubahan lingkungan dari laut hingga mengarah terjadinya pendangkalan atau daratan. Hal tersebut dijelaskan sebelumnya oleh beberapa laporan salah satunya (Suedy, 2012) bahwa hasil analisis palinologi di lokasi yang sama menunjukan tingkat kelembaban tinggi pada daratan mangrove yang terbentuk dan mengalami iklim basah berdasarkan polen mangrove yang ditemukan. Hal tersebut mendukung hasil penelitian ini, dimana iklim basah atau penurunan suhu memberikan dampak pada batrimetri purba.
Gambar 6
Kolom lingkungan pengendapan berdasarkan nannofosil dan
foraminifera bentonik
Hasil
analisis PCA dari komunitas nannofosil menunjukan nilai variansi yang
baik, yaitu sebesar 60.85% (Lihat Tabel 1). Hasil PC1 meiliki nilai eigen
sebesar 7.2994, PC2 sebesar 4.0409 dan PC3 sebesar 2.6586. Nilai muatan
variabel Surrogate pada masing-masing spesies dari ketiga PC dapat dilihat
pada tabel 1. Ketiga PC tersebut diseleksi dan dicocokan berdasaarkna referensi
terkait pengelompokan spesies penciri produktivitas, maka dapat diketahui bahwa
PC2 adalah hasil analsis yang cocok dengan data dan referensi penunjang.
Disebutkan bahwa R. minuta (Devellard Fionda, Gatto
Motta, Magalh�es-Ribeiro, Pedrosa Lemos, & Wanderley, 2020) dan D. pentaradiatus (Tangunan et al., 2018) merupakan spesies penciri dengan fertilitas tinggi
terhadap produktivitas lingkungan. Keberadaan mereka berpengaruh positif dengan
laju pembentukan bahan organik dalam perairan. C. leptoporus merupakan
spesies yang berhubungan dengan keberadaan bahan organik sebagai kelompok
fertilitas rendah menurut (Galović,
2017).
Beberapa
referensi tersebut menjelaskan kesesuaian data hasil PCA pada PC2 yang dapat
digunakan untuk menentukan nilai produktivitas perairan. Nilai muatan spesies
pada PC2 mengelompokan nilai negatif dan positif, dimana nilai diatas 0.5 baik
positif (+) mauapun negatif (-) merupakan spesies yang dominan dan berpengaruh
terhadap distribusi populasi data. Nilai diatas 0.4 namun dibawah 0.5 baik
positif (+) maupun negatif (-) merupakan spesies asosiasi (tidak digunkan) (Reavie
& Chai, 2019). Dari tabel 1, maka dapat dikelompokan berdasarkan data
tersebut dan referensi, bahwa R. minuta, D. pentaradiatus dan P. discopora
merupakan spesies penciri produktivitas dalam kelompok fertilitas tinggi. H. carteri,
Cd. leptoporus, D. altus dan D. variabilis dikelompokan
sebagai penciri produktivitas sebagai kelompok fertilitas rendah.
Tabel 1
Muatan variabel surrogate
dari hasil analisis PCA
F |
Spesies |
Muatan |
Spesies |
Mutan |
Variansi
(%) |
|||
1 |
Cocolithus
pelagicus |
0.74 |
Discoaster asymetricus |
0.51 |
31.73 |
|
||
Helicosphaera
carteri |
0.73 |
Reticulofenestra minuta |
0.44 |
|
||||
Helicosphaera
selii |
0.82 |
Discoaster pentaradiatus |
0.45 |
|
||||
Calcidiscus.
Macintyrei |
0.59 |
Discoaster altus |
0.63 |
|
||||
Sphenolithus
abies |
0.90 |
Discoaster variabilis |
0.67 |
|
||||
Umbilicosphaera
rotula |
0.72 |
Reticulofenestra pseudoumbilicus |
0.57 |
|
||||
Calcidiscus
leptporus |
0.68 |
Reticulofenestra minuta |
0.54 |
|
||||
Pseudoemiliania
ovata |
0.67 |
Pontosphaera multipora |
0.51 |
|
||||
2 |
Helicosphaera
carteri |
-0.56 |
Cocolithus pelagicus |
0.48 |
17.56 |
|
||
Calcidiscus
leptoporus |
-0.54 |
Pseudoemiliania ovata |
0.45 |
|
||||
Reticulofenestra
minuta |
0.66 |
Reticulofenestra pseudoumbilicus |
-0.47 |
|
||||
Discoaster
pentaradiatus |
0.70 |
Reticulofenestra minutula |
-0.42 |
|
||||
Discoaster
altus |
-0.52 |
Amarolithus tricorniculatus |
-0.41 |
|
||||
Discoaster
variabilis |
-0.58 |
Pontosphaera discopora |
0.52 |
|
||||
3 |
Amarolithus
tricorniculatus |
0.83 |
Scyposphaera campanula |
0.81 |
11.56 |
|
||
Pontosphaera
multipora |
0.57 |
|
||||||
Analisis
NI atau produktivitas nannofosil (primer) dapat dilakukan dengan syarat
kelimpahan diatas 100 individu (Wulff, Mutterlose, &
Bornemann, 2020), oleh sebab itu hanya 14 sampel yang dapat dianalisis,
karena sisanya tidak memenuhi syarat. Kondisi tersebut, diprediksi tidak
memiliki produktifitas purba primer laut karena sudah dipengaruhi faktor
lingkungan darat atau air tawar, sehingga tidak cocok untuk analisis
produktifitas purba primer laut. Hasil analisis dapat dilihat pada gambar 7. Produktifitas purba dasar perairan (produktifitas sekunder)
dapat diamati berdasarkan proporsi relatif antara kemunculan infauna dan epifauna
foraminifera bentonik. Hasil keseluruhan sampel berdasarkan pengamatan
foraminifera dikelompokan dalam bentuk epifauna dan infauna, dengan nilai
kelimpahan relatif epifauna sebesar 79.2% dan infauna sebesar 20.7%.
Rekonstruksi paleoproduktivitas purba dasar perairan dapat dilakukan dengan
syarat kelimpahan foraminifera diatas 200 individu (Jonkers, 1984), oleh sebab itu sampel yang dianalisis hanya
dimulai dari A11N hingga A36N. Sampel A1N hingga A10N tidak dapat dianalisis
karena kurang memenuhi syarat merekonstruksi
produktifitas purba dasar perairan dengan membandingkan proporsi kelimpahan
spesies foraminifera berdasarkan padanan ekologinya baik epifauna maupun
infauna. Foraminifera epifauna cenderung hidup diatas permukaan dasar perairan,
sedangkan habitat foraminifera infauna berada dalam sedimen dasar perairan yang
terkubur sepenuhnya atau sebagian di dalam sedimen. Padanan ekologi tersebut
memisahkan habitat foraminifera bentonik secara signifikan, yang berpengaruh
terhadap ketersediaan makanan bagi foraminifera tersebut. Ketersediaan makanan
ini mempengaruhi distribusi dan kelimpahan secara spesifik bagi masing-masing
kelompok foraminifera bentonik tersebut. Kelompok infauna merupakan kelompok
foraminifera bentonik yang sangat bergantung dengan jumlah nutrisi yang jatuh
ke dalam sedimen, apabila nutrisi (bahan organik) yang jatuh ke dasar sedimen
relatif sedikit, maka foraminifera epifauna yang akan menggunakanya telebih
dahulu, kondisi tersebut memungkinkan�
kelompok epifauna cenderung lebih melimpah dibandingkan kelompok
infauna. Pola dinamika seperti ini yang digunakan ahli paleontologi dalam
merekonstruksi perubahan lingkungan purba (Rodrigues, Pivel, Schmitt,
de Almeida, & Bonetti, 2018).
Gambar 7
Grafik evaluasi paleoekologi menggunakan proxy mikrofosil
dan proporsi kelimpahan relatif hasil analisis cluste
Menurut (Rodrigues et al., 2018), foraminifera bentonik dapat digunakan untuk Total Organic Carbon (TOC) didefinisikan sebagai jumlah karbon organik yang
dinyatakan dalam bentuk prosentase berat dari batuan kering (dry rock).
Karbon organik yang dimaksud merupakan karbon yang berasal dari zat organik
dan bukan berasal dari karbonat (misalnya gampingan) Terdapat nilai TOC minimum
untuk menyatakan suatu batuan sedimen dapat menjadi batuan induk. Hasil
analisis TOC yang telah dilakukan menunjukan angka dimulai dari 0.143%
(terendah) hingga 0.513% (tertinggi) A7N, A14N, A21N A28N tergolong berpotensi
rendah, sedangkan A35N tergolong dalam sedikit berpotensi. Dapat dilihat pada
gambar 8 yang menunjukan bahwa sampel A35N (sampel tua) cenderung memiliki
nilai TOC yang lebih tinggi dibanding sampel yang lebih muda. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa bahan organik yang dievaluasi dengan uji TOC lebih banyak
terbentuk ketika lingkungan pengendapan berbentuk laut dengan kedalaman
perselingan inner neritic-shallow middle neritic (A28N dan A35N). Kondisi
lingkungan perselingan litoral-supralitoral cenderung semakin berkurang
dari nilai TOC yang dihasilkan (A7N). Kondisi ini diperkuat dengan data hasil
analisis sebelumnya bahwa lokasi penelitian di masa pembentukan A7N-A28N (hasil
geokimia dan paleobatrimetri) merupakan lokasi yang mengalami susut laut,
sehingga memungkinkan penurunan produktifitas dan bahan organik.
Sampel A7N yang diprediksi (Suedy, 2012) (setelah penyelarasan lapisan) merupakan daerah transisi, dan
berdasarkan hasil uji TOC dalam penelitian ini, menjelaskan bahwa lingkungan
transisi disaat itu masih belum efektif memberikan pengaruh terhadap
produktifitas ekosistem dikarenakan merupakan kondisi suksesi primer bagi
lingkungan purba tersebut, sehingga nilai TOC yang ada masih relatif sangat
sedikit, namun produktifitas pada awal suksesi ini sudah mulai berlangsung
dalam nilai yang rendah (0.143%). Bahan organik yang dievaluasi dengan uji
TOC� dari sampel A7N ini kemungkinan
berasal dari darat dan/atau perairan tawar atau bisa jadi berasal dari campuran
antara darat dan lautan, karena dibuktikan dari hasil evaluasi produktifitas
primer purba laut dan produktifitas sekunder purba laut yang memiliki trend
menghilang disampel tersebut.
Gambar 8
Distribusi kandungan TOC
Hasil evaluasi CaCO3 dimulai
dari 32.101% (terendah) pada A28N hingga 89.930% (tertinggi) pada A21N. CaCO3
merupakan salah satu unsur pembentuk batu gamping. CaCO3 merupakan salah satu
komponen penting dalam pertumbuhan nannofosil dan foraminifera dengan material
cangkang hyaline, karena selama pertumbuhan dan reproduksi mereka membutuhkan
kalsium karbonat sebagai bahan dasar pembentukan cangkang. CaCO3 yang dimaksud
ini adalah struktur yang diobservasi dalam analisis struktur komunitas
nannofosil, foraminiera bentonik bercangkang hyaline dan kandungan kadar gampingan
yang ada dalam batu gamping.
Gambar 9
Grafik distribusi kandungan Kalsium Karbonat
Sampel A14N memiliki kadar
TOC yang rendah dan kadar CaCO3 yang relatif stabil. Hal tersebut menjelaskan
bahwa sampel diprediksi dalam memiliki laju asimilasi yang rendah, dan dapt
diprediksi bahwa lingkungan tidak menguntungkan dalam proses asimilasi dan/atau
kadar CO2, hal tersebut dapat dikonfirmasi pada hasil analisis sebelumnya yang
menjelaskan bahwa pada sampel ini cenderung mengalami susut laut yang diduga
berkaitan dengan pengangkatan tektonik (Patria & Hall, 2018), namun perubahanya secara dinamis dan drastis karena pada kala pliosen
bumi mengalami pemanasan diatas suhu normal bumi saat ini yang menyebabkan
dinamika eustasi dan paleobatrimetri (Dumitru et al., 2019). Sampel A7N memiliki nilai TOC dan CaCO3 yang serupa dengan A14N, namun
perlu diketahui bahwa pada hasil analisis TOC sebelumnya telah dijelaskan,
sampel A7N merupakan sampel dimana kondisi perairan tawar dan/atau darat telah
mendominasi. Hal tersebut juga perlu digaris bawahi bahwa keberadaan CaCO3 yang
dihasilkan bersumber dari air tawar (hyposaline: hasil analisis
nannofosil).
Kesimpulan
Dinamika paleoekologi yang diamati berdasarkan
kelimpahan dan paleodiversitas baik fosil foraminifera bentonik maupun
nannofosil secara umum memiliki trend menurun dari sampel tua ke sampel
yang lebih muda. Analisis umur relatif menggunakan biomarker umur realtif untuk menghasilkan biozone nannofosil yang menunjukan sampel berumur
pliosen awal bagian atas, yaitu NN14 hinga tidak lebih muda dari NN15 (4.2 juta
tahun yang lalu hingga tidak lebih muda dari 3.5 juta tahun yang lalu).
Lingkungan pengendapan yang diamati berdasarkan paleobatimetri yang dianalisis
menggunakan spesies penciri foraminifera bentonik dan PB rasio secara umum
sampel berubah dari lingkungan shallow middle neritic menjadi supralitoral.
Perubahan paleo produktifitas yang diamati berdasarkan produktifitas primer
purba, produktivitas sekunder purba, oksigen, dan TOC menunjukan sampel bersifat
dinamis dimana sampel lebih tua bersifat lebih tinggi produktifitasnya dan
kemudian mengalami trend yang menurun hingga pada sampel yang lebih muda.
BIBLIOGRAFI
Armstrong, Howard, &
Brasier, Martin. (2013). Microfossils. USA:
Blackweel Publishing
Bhadury, Punyasloke, & Sen, Areen. (2020). Understanding impact of
seasonal nutrient influx on sedimentary organic carbon and its relationship
with Ammonia spp. in a coastal lagoon. Frontiers in Marine Science.
Corn�e, Jean Jacques, M�nch, Philippe, Achalhi, Mohammed, Merzeraud,
Gilles, Azdimousa, Ali, Quill�v�r�, Fr�d�ric, Melinte-Dobrinescu, Mihaela,
Chaix, Christian, Moussa, Abdelkhalak Ben, & Lofi, Johanna. (2016). The
Messinian erosional surface and early Pliocene reflooding in the Alboran Sea:
New insights from the Boudinar basin, Morocco. Sedimentary Geology, 333,
115�129.
Devellard Fionda, Anaiza Claudia Meira, Gatto Motta, Andr� Luiz, Magalh�es-Ribeiro,
Claudia Maria, Pedrosa Lemos, Fl�via Azevedo, & Wanderley, Maria Dolores.
(2020). Biostratigraphy and Paleoecological Inferences Based on Oligocene
Calcareous Nannofossils from the Cear� Rise (ODP Leg 154, Site 929A):
Equatorial Atlantic Ocean. Anuario Do Instituto de Geociencias, 43(1).
Dijk, Inge van, Barras, Christine, Nooijer, Lennart Jan de, Mouret, Aur�lia,
Geerken, Esmee, Oron, Shai, & Reichart, Gert Jan. (2019). Coupled calcium
and inorganic carbon uptake suggested by magnesium and sulfur incorporation in
foraminiferal calcite. Biogeosciences, 16(10), 2115�2130.
Djuri, M., Samodra, H., Amin, T. C., & Gafoer, S. (1996). Peta geologi
lembar Purwokerto dan Tegal. Jawa, Skala, 1(100.000).
Dumitru, Oana A., Austermann, Jacqueline, Polyak, Victor J., Forn�s, Joan
J., Asmerom, Yemane, Gin�s, Joaqu�n, Gin�s, Angel, & Onac, Bogdan P.
(2019). Constraints on global mean sea level during Pliocene warmth. Nature,
574(7777), 233�236.
Forestier, Hubert. (2007). Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu: Prasejarah
Song Keplek, Gunung Sewu, Jawa Timur. Kepustakaan Populer Gramedia.
Galović, Ines. (2017). Sarmatian calcareous nannofossil assemblages
in the SW Paratethyan marginal marine environments: implications for
palaeoceanography and the palaeoclimate. Progress in Oceanography, 156,
209�220.
Haywood, Alan M., Dowsett, Harry J., Dolan, Aisling M., Rowley, David,
Abe-Ouchi, Ayako, Otto-Bliesner, Bette, Chandler, Mark A., Hunter, Stephen J.,
Lunt, Daniel J., & Pound, Matthew. (2016). The Pliocene model
intercomparison project (PlioMIP) phase 2: scientific objectives and
experimental design. Climate of the Past, 12(3), 663�675.
Herrle, Jens O., Pross, J�rg, Friedrich, Oliver, K��ler, Peter, &
Hemleben, Christoph. (2003). Forcing mechanisms for mid-Cretaceous black shale
formation: evidence from the Upper Aptian and Lower Albian of the Vocontian
Basin (SE France). Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology, 190,
399�426.
Jonkers, Hendrik Albert. (1984). Pliocene benthonic foraminifera from
homogeneous and laminated marls on Crete. Utrecht University.
Kholiq, M. Abdul, & Wibowo, Ari. (2016). Penerapan Teori Tujuan Pemidanaan
Dalam Perkara Kekerasan Terhadap Perempuan: Studi Putusan Hakim. Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum, 23(2), 186�205.
Kouwenhoven, T. J. vd, & Van der Zwaan, G. J. (2006). A reconstruction
of late Miocene Mediterranean circulation patterns using benthic foraminifera. Palaeogeography,
Palaeoclimatology, Palaeoecology, 238(1�4), 373�385.
Le H�riss�, A., Steemans, Philippe, Wellman, C., & Vecoli, M. (2014). Darriwilian
(Middle-Ordovician) elements of primitive vegetation, marine palynomorphs and
problematic microfossils, from the Saq/Qasim transitional beds in core QSIM
801, central Saudi Arabia. Discussion with eustatic and climatic events.
Lumbanbatu, Ungkap M., Hidayat, Suyatman, Sukapti, Woro Sri, &
Patriani, Emma Yan. (2014). Geologi Kuarter Dataran Pantai Jepara, Jawa TENGAH.
Jurnal Geologi Dan Sumberdaya Mineral, 15(1), 25�39.
Martini, Erlend. (1971). Standard Tertiary and Quaternary calcareous
nannoplankton zonation. Proc. II Planktonic Conference, Roma 1970, Roma,
Tecnoscienza, 2, 739�785.
Mattioli, Emanuela, Pittet, Bernard, Petitpierre, Laurent, & Mailliot,
Samuel. (2009). Dramatic decrease of pelagic carbonate production by
nannoplankton across the Early Toarcian anoxic event (T-OAE). Global and
Planetary Change, 65(3�4), 134�145.
Patria, Adi, & Hall, Robert. (2018). Oblique Intraplate Convergence of
the Seram Trough, Indonesia. Bulletin of the Marine Geology, 33(1).
Rodrigues, Andr� Rosch, Pivel, Mar�a Alejandra G�mez, Schmitt, Patricia,
de Almeida, Fabiana Karla, & Bonetti, Carla. (2018). Infaunal and epifaunal
benthic foraminifera species as proxies of organic matter paleofluxes in the
Pelotas Basin, south-western Atlantic Ocean. Marine Micropaleontology, 144,
38�49.
Suedy, S. W. A. (2012). Paleorekonstruksi Vegetasi dan Lingkungan
Menggunakan Fosil Polen dan Spora Pada Formasi Tapak Cekungan Banyumas Kala Plio-Plistosen.
IPB University Bogor.
Takata, Hiroyuki, Hasegawa, Shiro, & Sonoda, Takeshi. (2019). Life
history of Ammonia �beccarii� forma 1 (benthic foraminifera, Rhizaria) in Lake
Saroma, northern Japan. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 229,
106385.
Tangunan, Deborah N., Baumann, Karl Heinz, Just, Janna, LeVay, Leah J.,
Barker, Stephen, Brentegani, Luna, De Vleeschouwer, David, Hall, Ian R.,
Hemming, Sidney, & Norris, Richard. (2018). The last 1 million years of the
extinct genus Discoaster: Plio�Pleistocene environment and productivity at Site
U1476 (Mozambique Channel). Palaeogeography, Palaeoclimatology,
Palaeoecology, 505, 187�197.
Wilson, Shawn. (2008). Research is ceremony: Indigenous research
methods. Fernwood Publishing.
Wulff, Lena, Mutterlose, Joerg, & Bornemann, Andre. (2020). Size
variations and abundance patterns of calcareous nannofossils in mid Barremian
black shales of the Boreal Realm (Lower Saxony Basin). Marine
Micropaleontology, 156, 101853.
.