How to cite:
Teriyanti Btr, Arika Palapa, Iksan Saifudin (2024) Pidana Pengawasan dalam Perspektif
Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, (06) 07,
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM
PIDANA DI INDONESIA
Teriyanti Btr, Arika Palapa, Iksan Saifudin
Politeknik Pelayaran Sulawesi Utara, Indonesia
Abstrak
Tujuan dalam penelitianini adalah 1) untuk mengetahui dan menganalis bentuk
formulasi pengaturan pidana pengawasan dalam upaya pembaharuan hukum pidana di
Indonesia 2)untuk mengetahui dan menganalis tentang pidana pengawasan dalam
perspektif pembaharuan hukum pidana apakah dapat mewujudkan tujuan pemidanaan.
Metode penelitian yang diterapkan adalah metode penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan perbandingan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Pidana pengawasan berfungsi untuk melindungi pelaku
dari dampak negatif adanya pidana perampasan kemerdekaan.Terhadap pelaku yang
belum dikenai pidana perampasan kemerdekaan, di perkenankan untuk menikmati
kebebasannya dengan menjalankan aktifitas sehari-hari secara normal di tengah
masyarakat seraya memperbaiki dirinya.Terhadap pelaku yang menjalani pidana
pengawasan dalam jangka waktu tertentu tersebut di awasi oleh pejabat pengawas
dalam rangka melaporkan perkembangan pelaku.Terhadap pelaku, jika berkelakuan
baik maka jangka waktu pengawasannya dapat di persingkat, namun jika sebaliknya
hukuman dapat diperberat. Pidana pengawasan bercita-cita sebagai pelindung
kepentingan terpidana dan masyarakat yang menjadi arah tujuan pemidanaan modern.
Agar pidana pengawasan sebagai salah satu jenis pidana yang terdapat di dalam
rancangan KUHP 2017 ini dapat segera di sahkan dengan memperhatikan adanya
keterdesakan adanya alternatif pidana perampasan kemerdekaan.Agar menghindari
kesan bahwa pidana pengawasan bersifat lunak agar syarat dijatuhkan nya pidana
pengawasan tersebut di rumuskan dalam suatu redaksional yang bersifat imperatif..
Kata kunci: Pidana, Pemidanaan, Pidana Pengawasan, Pembaharuan Hukum Pidana.
Abstract
The purpose of this thesis is 1) to find out and analyze the formulation of criminal
control arrangements in an effort to renew criminal law in Indonesia2) to know and
analyze criminal surveillance in the perspective of criminal law reform whether it can
realize the purpose of punishment. The research method applied is normative legal
research method using statutory, conceptual, and comparative approaches. The results
of the study show that criminal supervision serves to protect the perpetrators from the
negative effects of criminal deprivation of liberty. Against the perpetrators who have
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 07, Juli 2024
Teriyanti Btr, Arika Palapa, Iksan Saifudin
3132 Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024
not been subject to criminal prosecution of independence, it is permissible to enjoy their
freedom by carrying out normal daily activities in the middle of society while improving
themselves. undergoing criminal supervision within a certain period of time is
supervised by supervisory officials in order to report on the development of the
perpetrator. Regarding the perpetrator, if the behavior is good then the period of
supervision can be shortened, but if the punishment can be aggravated. and the interests
of the community which are the direction of modern punishment. So criminal
supervision as one of the types of criminal contained in the 2017 Criminal Code draft
can be immediately ratified by taking into account the urgency of a criminal alternative
for deprivation of independence. To avoid the impression that criminal supervision is
soft the terms of criminal sanctions are formulated in an editorial imperative.
Keywords: Criminal, Criminal, Criminal Supervision, Criminal Law Renewal
PENDAHULUAN
Pidana pengawasan adalah bentuk hukuman yang dikenakan pada pelaku tindak
pidana dengan tujuan mengawasi dan membimbing perilakunya tanpa harus menjalani
hukuman penjara (Kinanthi, Hamzani, & Rizkianto, 2022). Konsep ini bertujuan untuk
rehabilitasi pelaku kejahatan melalui pengawasan ketat oleh petugas tertentu, seperti
petugas pemasyarakatan, guna mencegah pelanggaran ulang.
Sejarah dan perkembangan konsep pidana pengawasan di Indonesia dapat
ditelusuri sejak masa kolonial Belanda, di mana sistem hukum pidana Belanda mulai
diperkenalkan dan diterapkan (Ilham, 2020). Namun, penerapannya secara lebih
sistematis baru berkembang setelah Indonesia merdeka dengan pengaruh dari berbagai
sistem hukum modern khususnya dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat
(Manan, Abdurahman, & Susanto, 2021).
Pembaruan hukum pidana diperlukan di Indonesia karena adanya kebutuhan untuk
menyesuaikan hukum dengan perkembangan zaman, nilai-nilai sosial, dan tantangan
kejahatan yang semakin kompleks. Saat ini, sistem hukum pidana di Indonesia masih
menghadapi berbagai masalah, seperti kebijakan yang tidak selaras, ketimpangan dalam
penerapan hukuman, dan kurangnya efektivitas dalam rehabilitasi pelaku kejahatan.
Selain itu, reformasi hukum pidana diperlukan untuk memastikan bahwa keadilan
ditegakkan secara merata bagi semua warga negara, meminimalkan diskriminasi, serta
meningkatkan efisiensi dan transparansi proses hukum (MH, 2024). Pembaruan hukum
pidana juga penting untuk mendukung pembangunan ekonomi dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia, serta untuk memperkuat kedaulatan hukum sebagai
landasan bagi negara demokratis yang berkembang (Pratama, 2024).
Dari hal tersebut, terdapat tekad bangsa Indonesia untuk mewujudkan pembaruan
hukum pidana yang diartikan sebagai upaya melakukan reorientasi dan reformasi
hukum pidana. Upaya ini disesuaikan dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-
filosofis, dan sosio-kultural yang menjadi dasar dan memberikan arah terhadap muatan
normatif serta substansi hukum pidana yang diinginkan (Abidin, 1983).
Tantangan dalam sistem hukum pidana saat ini meliputi ketidakefektifan dalam
rehabilitasi pelaku kejahatan, yang sering kali tidak mencapai tujuan memperbaiki
Pidana Pengawasan dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024 3133
perilaku pelaku dan mencegah kejahatan berulang. Selain itu, masih terdapat
ketidakmerataan dalam penerapan hukum serta masalah korupsi dan kebijakan yang
belum selaras dengan perkembangan sosial dan teknologi . Kelemahan lainnya termasuk
kurangnya koordinasi antara lembaga penegak hukum, keterbatasan sumber daya, dan
infrastruktur rehabilitasi yang tidak memadai. Semua ini menunjukkan perlunya
pembaharuan dalam sistem hukum pidana, khususnya dalam konteks implementasi
pidana pengawasan, untuk memastikan efektivitas dalam upaya rehabilitasi dan
pencegahan kejahatan di Indonesia.
Pidana pengawasan berfungsi sebagai alternatif terhadap pidana penjara dengan
menekankan pada pemantauan dan rehabilitasi pelaku kejahatan di luar lingkungan
penjara. Pendekatan ini memungkinkan pelaku untuk tetap berinteraksi dengan
masyarakat namun tetap didampingi oleh petugas pengawas yang bertanggung jawab
atas pengawasannya. Tujuan utama dari pidana pengawasan adalah untuk memfasilitasi
proses rehabilitasi, memperbaiki perilaku pelaku, serta mencegah kejahatan berulang.
Selain itu, alternatif ini dapat membantu mengurangi overkapasitas di penjara dan
mengurangi biaya yang terkait dengan pemasyarakatan dengan tetap memberikan
tindakan yang efektif dalam menanggapi tindak pidana. Meskipun memberikan
kebebasan relatif kepada pelaku, pidana pengawasan tetap menetapkan syarat-syarat
ketat yang harus dipatuhi, sehingga memastikan bahwa pelaksanaan hukuman tetap
mengutamakan keamanan masyarakat dan tujuan rehabilitasi yang diinginkan.
Manfaat pidana pengawasan dalam sistem peradilan pidana meliputi aspek
rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang penting. Pidana pengawasan memberikan
kesempatan bagi rehabilitasi yang lebih efektif. Pendekatan ini membantu
meminimalkan stigmatisasi yang sering terjadi terhadap mantan narapidana sehingga
mendukung proses reintegrasi sosial yang lebih lancar.
Pemerintah telah mengambil langkah-langkah konkret untuk melakukan
pembaruan hukum pidana guna meningkatkan efektivitas dan keadilan sistem peradilan
di Indonesia. Langkah pertama melibatkan penyusunan dan revisi undang-undang yang
lebih sesuai dengan tuntutan zaman dan nilai-nilai sosial yang berkembang, seperti
revisi KUHP yang sedang berlangsung untuk mengatasi kekurangan dan ambiguitas
dalam regulasi yang ada.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2020
tentang Pelaksanaan Pidana Pengawasan memberikan landasan hukum yang lebih jelas
dan terstruktur untuk implementasi pidana pengawasan, termasuk prosedur, syarat-
syarat, dan mekanisme pengawasan terhadap pelaku kejahatan di luar penjara. Selain
itu, kebijakan ini juga menekankan pentingnya rehabilitasi dan reintegrasi sosial dalam
pengelolaan pidana pengawasan, dengan memperhatikan hak-hak pelaku kejahatan
sekaligus menjaga keamanan masyarakat. Langkah-langkah ini merupakan bagian dari
upaya pemerintah untuk mengoptimalkan efektivitas sistem peradilan pidana,
mengurangi kepadatan penjara, serta memberikan solusi yang lebih manusiawi dan
terfokus pada pemulihan pelaku kejahatan untuk kembali berkontribusi positif dalam
masyarakat.
Teriyanti Btr, Arika Palapa, Iksan Saifudin
3134 Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk memahami dan menganalisis bagaimana
formulasi pengaturan pidana pengawasan berkontribusi dalam upaya pembaharuan
hukum pidana di Indonesia. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi
apakah pidana pengawasan dari perspektif pembaharuan hukum pidana dapat berhasil
mencapai tujuan pemidanaan yang diinginkan.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dalam ranah penelitian
hukum (Rohman, 2021). Sumber-sumber hukum yang digunakan meliputi bahan hukum
primer, seperti peraturan perundang-undangan terkait Pidana Pengawasan dalam
konteks Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Bahan hukum sekunder digunakan
untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai bahan hukum primer, yang
meliputi buku-buku, rancangan KUHP, majalah, hasil penelitian, jurnal, dan sumber
lain yang relevan dengan judul "Pidana Pengawasan dalam Perspektif Pembaharuan
Hukum Pidana di Indonesia". Sementara itu, bahan hukum tersier seperti kamus hukum
digunakan untuk mendukung analisis berdasarkan teknik inventarisasi, sistematisasi,
dan interpretasi bahan hukum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Urgensi Adanya Alternatif Pidana Pencabutan Kemerdekaan
Meskipun telah dilakukan upaya-upaya untuk memperbarui dan memperbaiki baik
secara praktis maupun teoritis untuk mengurangi efek dari pidana penjara, tetap ada
fakta bahwa dalam beberapa kasus, pidana penjara masih menyebabkan kerugian yang
sulit diatasi.
Dari sudut pandang filosofis, terdapat pertentangan yang saling berlawanan
(ambivalensi) yang meliputi hal-hal berikut (Dewi, 2012):
1) Tujuan penjara adalah untuk memastikan keamanan narapidana serta memberikan
kesempatan bagi mereka untuk direhabilitasi.
2) Namun, fungsi penjara tersebut sering kali mengarah pada dehumanisasi pelaku
kejahatan, yang pada akhirnya menyebabkan kerugian bagi narapidana yang harus
menghabiskan waktu terlalu lama di dalam lembaga. Hal ini mengakibatkan
ketidakmampuan mereka untuk kembali hidup secara produktif dalam masyarakat.
Rubin menyampaikan pandangan negatif-pesimistis bahwa hukuman (baik itu
untuk tujuan menghukum atau memperbaiki) memiliki sedikit atau bahkan tidak
memiliki pengaruh signifikan terhadap masalah kejahatan (Widigdo, 2023).
Ini memberi gambaran bahwa hukum pidana masih belum menjadi alat yang
efektif dan sempurna dalam pencegahan serta penanggulangan berbagai tindak
kejahatan. Artinya, masih ada banyak keterbatasan dalam kemampuan hukum pidana
untuk menjalankan perannya dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan. Barda
Nawawi Arief mengidentifikasi faktor-faktor penyebab keterbatasan hukum pidana
dalam penanggulangan kejahatan, yaitu: Hukum pidana adalah bagian terbatas dari
sistem kontrol sosial yang tidak mampu secara sendirinya mengatasi masalah kejahatan,
Pidana Pengawasan dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024 3135
yang merupakan masalah kompleks dalam konteks sosial, psikologis, politik, budaya,
dan lain-lain. Penggunaan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan hanya
meredakan gejala, sehingga hukum pidana hanya bersifat meredakan gejala dan bukan
mengatasi akar permasalahan. Hukuman pidana adalah sebuah "obat" yang memiliki
sifat paradoks dan menghasilkan konsekuensi negatif serta efek samping.
Sistem pemidanaan bersifat terbagi-bagi dan berorientasi pada individu, tidak
mengakomodasi struktur atau fungsi secara keseluruhan; Batasan dalam jenis sanksi
pidana dan ketegasan dalam formulasi sanksi pidana yang kaku dan wajib; Efektivitas
hukum pidana memerlukan berbagai sarana pendukung yang lebih bervariasi dan
membutuhkan biaya yang tinggi.
Soemitro membagi pendapat tentang penyebab kejahatan menjadi tiga kelompok:
pendapat pertama menyalahkan pengaruh dari luar pelaku, pendapat kedua menekankan
bakat jahat yang ada dalam diri pelaku sendiri, dan pendapat ketiga menggabungkan
bahwa kejahatan disebabkan oleh pengaruh eksternal dan sifat bawaan pelaku itu
sendiri.
Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa hukum pidana hanya mengatasi gejala
(kurieren am symptom) dan tidak menghilangkan akar penyebabnya. Hukum pidana
hanya mencatat jenis kejahatan yang terjadi dan cara mengatasinya, tanpa mencakup
pemahaman terhadap alasan di balik kejahatan tersebut. Roeslan Saleh mengemukakan
argumen mengapa hukum pidana masih diperlukan, termasuk perlu tidaknya hukum
pidana tidak ditentukan oleh tujuan-tujuan yang ingin dicapai, melainkan oleh sejauh
mana penggunaan paksaan dibenarkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Pertimbangannya bukan hanya tentang hasil yang diharapkan, tetapi juga tentang
keseimbangan antara nilai dari hasil tersebut dan nilai dari batasan-batasan kebebasan
pribadi individu.
Ada upaya-upaya perbaikan atau rehabilitasi yang tidak bermanfaat sama sekali
bagi narapidana; namun, tetap perlu ada respons terhadap pelanggaran norma yang
dilakukannya dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Pengaruh dari pidana atau hukum
pidana tidak hanya ditujukan kepada pelaku kejahatan itu sendiri; tetapi juga untuk
mempengaruhi orang lain yang mematuhi norma-norma masyarakat.
Dengan demikian, penggunaan hukum pidana tetap diperlukan saat ini dalam
upaya memberikan perlindungan bagi masyarakat. Nigel Walker menyarankan bahwa
dalam penerapan hukum pidana, prinsip-prinsip pembatas (the limiting principles) harus
dipertimbangkan, yang meliputi:
1. Hukum pidana tidak seharusnya hanya digunakan untuk tujuan pembalasan belaka.
2. Hukum pidana tidak boleh diterapkan untuk menindak perbuatan yang tidak
menimbulkan kerugian atau bahaya.
3. Hukum pidana sebaiknya tidak digunakan jika tujuan yang sama dapat dicapai
dengan cara yang lebih ringan.
4. Hukum pidana tidak boleh digunakan jika kerugian atau bahaya yang ditimbulkan
oleh pidana lebih besar daripada perbuatan pidana itu sendiri.
Teriyanti Btr, Arika Palapa, Iksan Saifudin
3136 Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024
5. Larangan-larangan dalam hukum pidana tidak boleh lebih berbahaya dari perbuatan
yang hendak dicegah.
6. Hukum pidana sebaiknya tidak membuat larangan yang tidak didukung secara kuat
oleh publik.
Dampak Negatif Pidana Perampasan Kemedekaan (Pidana Penjara)
Dalam praktik pelaksanaan hukum pidana terhadap perbuatan yang melanggar
hukum, salah satu sanksi pidana yang paling umum digunakan untuk menanggulangi
hal tersebut adalah pidana penjara. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak yang
mempertanyakan kembali efektivitas penggunaan pidana penjara ini sebagai alat untuk
mengatasi masalah kejahatan.
Pidana penjara memiliki dampak negatif baik bagi pelaku kejahatan maupun
masyarakat secara keseluruhan. Pertama, pidana penjara cenderung mengisolasi pelaku
kejahatan dari masyarakat, memutuskan ikatan sosialnya, dan menyebabkan stigmatisasi
yang berpotensi mempersulit proses reintegrasi setelah masa tahanan selesai. Selain itu,
lingkungan penjara yang keras dan tidak aman dapat mempengaruhi kesehatan mental
dan fisik pelaku kejahatan, bahkan meningkatkan risiko pengulangan kriminalitas. Di
sisi lain dari perspektif masyarakat, penegakan hukuman penjara dapat menyebabkan
biaya tinggi dalam pengelolaan sistem peradilan pidana dan penjara, sementara tingkat
recidivism yang tinggi menunjukkan bahwa pendekatan ini belum secara efektif
mencegah kejahatan berulang.
Menurut (Moeller, 1977), jika melihat dari tujuan penerapan pidana penjara,
terdapat aspek filosofis yang saling bertentangan. Pertama, penjara bertujuan untuk
menjamin keamanan narapidana. Kedua, penjara bertujuan memberikan kesempatan
kepada narapidana untuk direhabilitasi.
Fungsi penjara sering kali mengakibatkan pengurangan martabat pelaku kejahatan
dan pada akhirnya merugikan narapidana yang tinggal di dalamnya terlalu lama, karena
mereka mungkin kehilangan kemampuan untuk beradaptasi kembali secara produktif
dalam masyarakat.
Berners dan Teeters mengungkapkan bahwa penjara telah menjadi lingkungan
yang tercemar, yang bahkan para pendukungnya mencoba untuk menghindarinya. Di
penjara, para pelaku kejahatan, baik yang baru terlibat maupun yang sudah menjadi
pelaku kronis, terpengaruh negatif melalui interaksi mereka. Bahkan upaya terbaik dari
petugas penjara pun belum mampu menghilangkan keburukan yang sangat besar dari
sistem penjara ini.
Konsepsi Pidana Pengawasan Untuk Mencapai Tujuan Pemidanaan
Konsepsi pidana pengawasan merupakan pendekatan alternatif dalam sistem
peradilan pidana yang bertujuan utama untuk mencapai tujuan pemidanaan dengan cara
yang lebih responsif dan terfokus pada rehabilitasi. Pidana pengawasan menekankan
pentingnya mengubah perilaku pelaku kejahatan melalui pengawasan yang ketat dan
bimbingan yang terarah di lingkungan sosial pelaku. Pendekatan ini mengakui bahwa
Pidana Pengawasan dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024 3137
pemidanaan seharusnya bukan hanya tentang membalas kejahatan, tetapi juga
memberikan kesempatan bagi pelaku untuk belajar dari kesalahan dan memperbaiki
perilaku.
Pidana pengawasan menawarkan fleksibilitas yang lebih besar dalam
menyesuaikan hukuman dengan berbagai konteks sosial, ekonomi, dan psikologis
pelaku kejahatan. Dengan tidak mengisolasi pelaku di dalam penjara, pendekatan ini
memungkinkan pelaku untuk tetap terlibat dalam kegiatan produktif di masyarakat,
seperti bekerja atau mendapatkan pendidikan, dengan tetap diawasi secara ketat. Hal ini
membantu mempertahankan ikatan sosial dan mendukung proses reintegrasi sosial yang
lebih lancar setelah masa hukuman selesai.
Pidana pengawasan juga membantu mengurangi overkapasitas penjara dan
meminimalkan biaya yang terkait dengan pemasyarakatan. Dengan memberikan
alternatif yang lebih ekonomis dan efektif, penerapan pidana pengawasan dapat
mengalokasikan sumber daya yang lebih baik untuk upaya-upaya pencegahan kejahatan
dan rehabilitasi serta untuk meningkatkan infrastruktur pendukung seperti layanan
sosial dan psikologis bagi pelaku kejahatan.
Sudarto pada kesempatan lain menyatakan bahwa pelaksanaan politik hukum
pidana melibatkan usaha untuk menciptakan undang-undang pidana yang sesuai dengan
kondisi dan situasi pada saat itu serta untuk masa depan. Dengan demikian, kebijakan
hukum pidana merupakan upaya untuk merumuskan peraturan hukum positif, termasuk
hukum pidana dan jenis pidananya, dengan lebih baik. Ini bertujuan untuk menciptakan
ketentuan hukum pidana yang realistis, humanis, progresif, dan sehat secara intelektual.
Berdasarkan politik hukum pidana, tujuan pemidanaan harus diarahkan pada
perlindungan masyarakat dari ancaman kejahatan sekaligus menciptakan keseimbangan
dan harmoni dalam kehidupan sosial. Hal ini berarti bahwa sistem peradilan pidana
harus berfungsi tidak hanya untuk menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga untuk
mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut dan memastikan keamanan serta ketertiban
dalam masyarakat. Dalam mencapai tujuan ini, pemidanaan harus mempertimbangkan
secara adil dan seimbang kepentingan berbagai pihak yang terlibat, yaitu masyarakat
atau negara, korban, dan pelaku kejahatan. Kepentingan masyarakat atau negara
mencakup penegakan hukum dan pemeliharaan ketertiban umum, sementara
kepentingan korban melibatkan pemberian keadilan dan pemulihan akibat kejahatan
yang dialami. Di sisi lain, kepentingan pelaku kejahatan juga harus dipertimbangkan,
terutama dalam konteks rehabilitasi dan reintegrasi sosial, untuk mencegah mereka
kembali melakukan kejahatan di masa depan. Dengan demikian, pemidanaan yang
efektif harus mampu melindungi masyarakat, memberikan keadilan bagi korban, dan
mendukung rehabilitasi pelaku kejahatan, sehingga tercipta keseimbangan dan harmoni
dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan tujuan tersebut, pemidanaan harus memuat elemen-elemen berikut:
1. Aspek kemanusiaan, yang berarti bahwa pemidanaan tersebut menghormati
martabat manusia.
Teriyanti Btr, Arika Palapa, Iksan Saifudin
3138 Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024
2. Edukatif, yang berarti bahwa pemidanaan harus membuat pelaku kejahatan
menyadari sepenuhnya kesalahannya dan membantu mereka mengembangkan sikap
positif dan konstruktif untuk mencegah kejahatan di masa depan.
3. Keadilan, yang berarti bahwa pemidanaan tersebut dianggap adil baik oleh
terhukum, korban, maupun masyarakat secara keseluruhan.
Dalam Pasal 55 Rancangan KUHP Tahun 2017, Barda Nawawi Arief menyatakan
bahwa dalam konsep ini, pidana pada dasarnya merupakan sarana untuk mencapai
tujuan tertentu. Konsep tersebut mengidentifikasi dua tujuan utama, yaitu "perlindungan
masyarakat" dan "perlindungan serta pembinaan individu pelaku tindak pidana", sebagai
titik tolak untuk merumuskan tujuan pemidanaan.
Prof. Sudarto mengemukakan beberapa konsep penting sebagai berikut:
"Dalam tujuan pertama terdapat pandangan tentang perlindungan masyarakat
(social defence), sedangkan dalam tujuan kedua terfokus pada rehabilitasi dan
resosialisasi terpidana. Tujuan ketiga mencerminkan pandangan hukum adat terkait
dengan 'adat reactie', sementara tujuan keempat memiliki dimensi spiritual yang sesuai
dengan sila pertama Pancasila."
Menurut Muladi, dalam konsep pidana pengawasan, pelaku tindak pidana yang
memenuhi kriteria tertentu berdasarkan perbuatannya dan keadaan pribadi mereka
diputuskan untuk ditempatkan kembali di masyarakat. Pelaku ini akan berada di bawah
pengawasan, bantuan, dukungan, dan bimbingan dari pejabat pengawas. Tujuan dari
pendekatan ini adalah untuk memberikan kesempatan kepada pelaku untuk berintegrasi
kembali dalam kehidupan masyarakat, sekaligus memastikan bahwa mereka tidak
melakukan tindak pidana lebih lanjut. Pengawasan yang diberikan oleh pejabat
pengawas bertujuan untuk memantau perilaku pelaku dan memberikan bimbingan yang
diperlukan, sehingga proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial dapat berjalan dengan
efektif.
Barda Nawawi Arief selanjutnya menyatakan bahwa pidana pengawasan
diterapkan dengan menunda penjatuhan pidana. Dengan demikian, tidak ada keputusan
hukuman yang bersifat final dalam penerapan pidana pengawasan. Hal ini
mengimplikasikan bahwa pelaku tindak pidana dapat dihindarkan dari stigma sebagai
orang jahat secara lebih awal yang dapat berpengaruh pada kehidupannya di
masyarakat.
Muladi menjelaskan bahwa pidana pengawasan sebagai alternatif dari pidana
perampasan kemerdekaan memiliki berbagai keunggulan terkait dampaknya terhadap
individu yang dikenai pidana. Salah satu keunggulan utamanya adalah memberikan
kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki dirinya di lingkungan masyarakat.
Pendekatan ini memprioritaskan kesejahteraan terpidana lebih tinggi daripada risiko
yang mungkin ditanggung oleh masyarakat apabila terpidana dilepas, dengan syarat
kesehatan mental terpidana harus dipastikan. Dengan demikian, pidana pengawasan
memungkinkan terpidana untuk tetap menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan
nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, sehingga mereka dapat mempertahankan
hubungan sosial, pekerjaan, dan rutinitas yang positif.
Pidana Pengawasan dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024 3139
Selain itu, pidana pengawasan juga memiliki keunggulan dalam mencegah
terjadinya stigma yang sering kali melekat pada terpidana yang menjalani pidana
perampasan kemerdekaan. Dengan tidak ditempatkan dalam penjara, terpidana dapat
terhindar dari label negatif dan diskriminasi yang mungkin muncul setelah mereka
menjalani hukuman. Hal ini penting untuk mendukung proses reintegrasi sosial dan
mengurangi peluang terjadinya residivisme. Secara keseluruhan, pidana pengawasan
menawarkan pendekatan yang lebih humanis dan rehabilitatif, dengan fokus pada
pemulihan dan perbaikan diri terpidana dalam konteks kehidupan masyarakat yang
normal.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pidana pengawasan seperti
probation tidak hanya bertujuan memberikan perlindungan kepada individu atau pelaku
tindak pidana. Dengan demikian, jenis pidana pengawasan ini bukanlah bentuk
pembebasan sepenuhnya bagi pelaku, karena sebenarnya terdapat berbagai kewajiban
dan syarat yang harus dipenuhi, yang pada kenyataannya bisa dirasakan lebih berat
dibandingkan dengan jenis pidana formal seperti pidana denda.
Kebebasan pelaku tindak pidana yang berada di bawah pengawasan probation ini
tidak diberikan sepenuhnya, melainkan terbatas oleh syarat-syarat yang harus dipatuhi
dan dilaksanakan olehnya. Konsekuensinya, jika pelaku tersebut tidak memenuhi atau
melanggar syarat-syarat yang telah disepakati, ia dapat menghadapi konsekuensi yang
lebih berat. Bahkan jika pelaku tersebut tetap menolak untuk bekerjasama, ia bisa
dikenakan pidana yang lebih berat, termasuk pidana penjara yang merampas
kemerdekaan atau kebebasannya.
Dalam kesimpulannya, jenis pidana pengawasan seperti probation tetap akan
dianggap sebagai hukuman bagi pelaku tindak pidana. Dengan demikian, secara teoritis
penerapan pidana pengawasan memiliki potensi yang signifikan untuk mencapai tujuan
pencegahan terjadinya tindak pidana, baik dalam konteks prevensi khusus maupun
prevensi umum. Prevensi khusus diarahkan pada individu pelaku tindak pidana di mana
melalui pengawasan atas kebebasan dan pemberian bimbingan serta dukungan, pelaku
diharapkan dapat memperbaiki perilakunya dan menghindari pengulangan tindak
pidana. Pengawasan yang ketat dan persyaratan yang mengikat memberikan
konsekuensi nyata yang harus dihadapi pelaku, sehingga mereka akan berpikir dua kali
sebelum melakukan tindakan yang merugikan masyarakat lagi.
Sementara itu dalam konteks prevensi umum, penerapan pidana pengawasan juga
dapat memberikan efek jera bagi masyarakat luas. Melihat adanya pengawasan dan
konsekuensi yang nyata bagi pelaku tindak pidana, masyarakat akan lebih memahami
bahwa tindakan melanggar hukum akan mendapatkan hukuman yang tidak hanya
berbentuk kurungan tetapi juga pengawasan yang ketat. Hal ini dapat memperkuat
kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan dan hukum, serta mendorong
perilaku yang lebih patuh terhadap hukum.
Menurut Mulyadi, (2012) keuntungan yang diperoleh oleh masyarakat dari pidana
pengawasan ini termasuk:
Teriyanti Btr, Arika Palapa, Iksan Saifudin
3140 Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024
a. Dalam menentukan apakah harus diberlakukan pidana pengawasan atau pidana
penjara, pertimbangan utama adalah sejauh mana masyarakat dapat mengambil
manfaat dari penerapan pidana pengawasan tersebut. Ini dapat dilihat dari
kontribusi terpidana dalam pekerjaan yang memberikan keuntungan ekonomis
bagi masyarakat, serta peran terpidana dalam kehidupan keluarga yang sangat
berarti bagi masyarakat.
b. Secara finansial, pidana dengan syarat (probation) yang melibatkan pembinaan di
luar lembaga cenderung lebih ekonomis daripada pembinaan di dalam lembaga.
Tujuan dari pidana pengawasan (probation) ini adalah untuk memulihkan
(merehabilitasi) pelaku, melindungi masyarakat, dan mencegah pelaku melakukan
tindak pidana lebih lanjut.
Dengan demikian, implementasi alternatif pidana pengawasan seperti probation
tidak hanya untuk kepentingan terpidana, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat. Hal
ini karena dalam probation terdapat aspek individualisasi pidana yang melindungi
terpidana. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa latar belakang probation
adalah menggantikan pidana penjara dan melindungi kepentingan individu terpidana
serta kepentingan masyarakat, yang merupakan arah tujuan pemidanaan modern.
Kendala Dalam Pelaksanaan Pidana Pengawasan
Oleh karena pelaksanaan pidana pengawasan hampir mirip dengan pidana
bersyarat, maka dikhawatirkan dalam pelaksanaan pidana pengawasan ke depan juga
akan menghadapi kendala yang hampir sama (Anjari, 2020). adapun kendala-kendala
yang dihadapi dalam pelaksanaan pidana bersyarat secara garis besar menurut E. Y.
Kanter yaitu: Sistem pengawasan dan pembinaan; Perundang-undangan; Teknis dan
administrasi; Proses penjatuhan pidana.
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu persatu masalah ini sebagai berikut:
1. Hambatan dalam sistim pengawasan dan pembinaan;
Belum tersedianya struktur pengawasan yang mapan dan kerjasama sistematis
antar lembaga terkait menjadi tantangan utama. Kurangnya koordinasi yang baik
antara lembaga-lembaga penegak hukum, petugas pengawas, dan lembaga swasta
rehabilitasi menghambat proses pengawasan dan pembinaan terpidana dengan
optimal. Hal ini mempengaruhi kemampuan sistem untuk memberikan bimbingan
yang konsisten dan terfokus kepada pelaku kejahatan.
Belum berkembangnya lembaga-lembaga swasta rehabilitasi yang mumpuni
juga menjadi kendala serius dalam implementasi pidana pengawasan. Lembaga-
lembaga ini sangat penting untuk memberikan dukungan dalam proses rehabilitasi
dan reintegrasi sosial bagi pelaku kejahatan. Kurangnya alternatif yang memadai di
luar sistem publik juga menambah beban pada sistem pidana yang sudah padat.
Selain itu, Pasal 280 ayat (4) KUHAP yang mengatur peran Hakim Pengawas
dan Pengamat dalam pelaksanaan pidana bersyarat belum berjalan optimal karena
belum ada peraturan pelaksanaan yang memadai untuk pasal tersebut. Hal ini
menghambat peran hakim dalam memberikan pengawasan yang efektif terhadap
Pidana Pengawasan dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024 3141
pelaku kejahatan yang menjalani pidana pengawasan serta membatasi kemampuan
sistem peradilan untuk memberikan keputusan yang konsisten dan adil.
2. Hambatan di dalam perundang-undangan;
Hambatan di dalam perundang-undangan menyulitkan proses implementasi
karena belum adanya kerangka hukum yang komprehensif dan detail mengenai
pidana bersyarat. Kekurangan panduan yang spesifik mengenai hakikat, tujuan yang
ingin dicapai, serta kriteria dalam penjatuhannya membuat penegakan hukum kurang
konsisten dan terbuka terhadap penafsiran yang beragam.
Ketidaktertiban dalam panduan penerapan pidana bersyarat juga menimbulkan
subjektivitas dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Subjektivitas ini sering kali
bergantung pada faktor-faktor psikologis yang tidak selalu relevan atau obyektif
dalam menetapkan pidana bersyarat, yang dapat menyebabkan ketidakpastian dan
perbedaan penanganan kasus yang sama di berbagai pengadilan. Ini menjadi
tantangan serius dalam memastikan bahwa keputusan hukum yang diambil bersifat
adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan.
3. Hambatan dalam bidang tekhnis dan administrasi tersebut adalah sebagai berikut:
Dalam bidang teknis dan administrasi pidana pengawasan, terdapat beberapa
hambatan yang signifikan yang perlu diatasi. Salah satunya adalah lokasi terpencil
tempat tinggal terpidana. Kondisi ini dapat menghambat akses petugas pengawas
untuk melakukan kunjungan dan pemantauan secara rutin dan efektif. Terpidana
yang tinggal di daerah yang terpencil sering kali menghadapi tantangan dalam
mendapatkan akses terhadap layanan rehabilitasi dan bimbingan yang diperlukan
untuk menjalani pidana pengawasan dengan baik.
Selain itu, keterbatasan dana untuk biaya kunjungan klien juga menjadi
hambatan yang sering kali mengganggu implementasi pidana pengawasan.
Keterbatasan ini dapat mengakibatkan kegiatan pemantauan dan bimbingan tidak
dapat dilaksanakan sesuai dengan harapan, terutama ketika sebagian besar klien yang
dibimbing berasal dari pedesaan atau wilayah yang luas. Pengelolaan sumber daya
yang terbatas ini seringkali menghambat efisiensi operasional dari Balai Bimbingan
dan Pembinaan Sosial (BISPA) yang bertugas dalam melakukan pengawasan
terhadap pelaku pidana.
4. Hambatan dalam bidang sarana dan prasarana;
Dalam bidang sarana dan prasarana pidana pengawasan, terdapat beberapa
hambatan yang perlu diatasi untuk memastikan efektivitasnya dalam menjalankan
tugas. Pertama, kurangnya sarana angkutan yang memadai menjadi masalah utama
bagi petugas pengawasan. Terutama di daerah terpencil atau pedesaan, akses
transportasi yang terbatas sering kali menghambat kemampuan petugas untuk
melakukan kunjungan rutin dan pemantauan terhadap pelaku kejahatan yang
menjalani pidana pengawasan.
Kedua, jumlah petugas pengawas yang terbatas juga menjadi hambatan serius
dalam pelaksanaan pidana pengawasan. Dengan jumlah petugas yang tidak
mencukupi dibandingkan dengan jumlah terpidana yang harus diawasi, hal ini dapat
Teriyanti Btr, Arika Palapa, Iksan Saifudin
3142 Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024
mengurangi tingkat pengawasan yang efektif dan menyebabkan beban kerja yang
berat bagi petugas yang ada.
Ketiga, keterbatasan anggaran perjalanan dinas untuk petugas pengawas juga
mempengaruhi efektivitas operasional. Dengan anggaran yang terbatas, kemampuan
untuk melakukan kunjungan lapangan yang sering diperlukan dalam pengawasan dan
bimbingan terpidana menjadi terbatas, sehingga mengurangi kemampuan untuk
memberikan dukungan dan pemantauan secara optimal.
5. Hambatan dalam proses penjatuhan pidana
Dalam praktiknya, implementasi pidana bersyarat di Indonesia menghadapi
beberapa kendala terutama terkait dengan keterbatasan dalam pemahaman dan
penerapan konsep pidana bersyarat oleh jaksa dan hakim. Meskipun KUHP
memberikan kemungkinan yang luas untuk menerapkan pidana bersyarat, masih ada
kecenderungan bagi jaksa dan hakim untuk membatasi atau memilih secara selektif
dalam menerapkannya. Hal ini mengakibatkan masih sedikit jenis tindak pidana yang
dijadikan dasar bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bersyarat dengan
kecenderungan lebih banyak menggunakan kurungan sebagai sanksi alternatif.
Selain itu, terpidana sering kali tidak mendapatkan salinan putusan hakim
secara lengkap sehingga kurang jelas mengenai pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana bersyarat dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Laporan
pemeriksaan pribadi terpidana juga sering kali tidak tersedia bagi hakim yang
seharusnya menjadi alat penting dalam membuat keputusan pidana yang tepat.
Selain aspek administratif, kendala lainnya adalah kurang berkembangnya
lembaga reklasering yang penting untuk pengawasan dan pembinaan terpidana
bersyarat serta belum terlembaganya sistem pengawasan yang efektif untuk pelaku.
Padahal, prinsip dasar dari pidana bersyarat sangat sederhana, yaitu untuk mencegah
terjadinya tindak pidana lebih lanjut dengan membantu terpidana belajar hidup
produktif di masyarakat yang pernah dirugikan olehnya.
Pendekatan terbaik untuk mencapai tujuan ini adalah dengan melaksanakan
sanksi pidana di masyarakat, daripada mengirimkan terpidana ke lingkungan penjara
yang tidak normal dengan perampasan kemerdekaan. Hal ini tidak hanya membantu
memulihkan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat, tetapi juga meminimalkan
dampak negatif dari pemisahan sosial yang dapat memperburuk kondisi pelaku.
Faktor krusial untuk menilai efektivitas pidana bersyarat ini adalah upaya
untuk menentukan seberapa baiknya pidana bersyarat memenuhi tujuan pidanaan,
dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip kemanusiaan dalam hukum pidana.
Prinsip-prinsip ini mencakup hakikat, kriteria penentuan, syarat-syarat, dan aspek
lain yang merupakan dasar umum dari implementasi pidana bersyarat.
Selain memahami informasi tersebut, penting juga untuk mempertimbangkan
bagaimana pidana bersyarat dapat bermanfaat ketika dikaitkan dengan tujuan
pemidanaan. Manfaat sebenarnya dari pidana bersyarat ini baru dapat terlihat saat
dipertimbangkan dalam konteks masalah universal, yaitu ketidakpuasan masyarakat
terhadap perampasan kemerdekaan. Ketidakpuasan ini terbukti sangat merugikan
Pidana Pengawasan dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia
Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024 3143
baik bagi individu yang menjalani pidana maupun bagi masyarakat secara umum.
Dengan demikian, manfaat dari pidana bersyarat ini sangat jelas.
Dalam implementasinya, pidana bersyarat dapat dievaluasi dari segi manfaat
dan tantangan yang dihadapinya (SE, 2022). Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa untuk memperbarui hukum pidana sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan
Konstitusi 1945, diperlukan upaya untuk memastikan bahwa regulasi dan aplikasi
pidana bersyarat secara komprehensif memenuhi tujuan pemidanaan seperti
pencegahan (baik umum maupun khusus), serta perlindungan solidaritas masyarakat.
Pengaruh dari pidana bersyarat terhadap tujuan pemidanaan, seperti
perlindungan masyarakat, terlihat pada aspek negatifnya, yaitu untuk mencegah
terpidana dari penderitaan pidana berupa penahanan khususnya yang berdurasi
pendek dan konsekuensinya. Alasan ini penting karena mengurangi risiko bahwa
pelaku kejahatan akan melakukan pelanggaran yang lebih serius lagi. Dengan
menghindari pengaruh negatif dari penjara, masyarakat terlindungi dari potensi
timbulnya kejahatan yang lebih serius yang sebenarnya dapat dihindari. Selain itu,
memberikan kesempatan bagi terpidana untuk memperbaiki dirinya di masyarakat,
mungkin dengan bantuan lembaga rehabilitasi, mencerminkan pendekatan "defense
sociale nouvelle" yang menekankan pengakuan, penggunaan, dan pengembangan
rasa tanggung jawab yang merupakan bagian integral dari setiap individu, termasuk
pelaku kejahatan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kedua pokok permasalahan tersebut, di
peroleh kesimpulan bahwa Formulasi pengaturan pidana pengawasan diatur dengan
ketentuan yakni pidana pengawasan berfungsi untuk melindungi pelaku dari dampak
negatif adanya pidana perampasan kemerdekaan. Terhadap pelaku yang belum dikenai
pidana perampasan kemerdekaan, di perkenankan untuk menikmati kebebasannya
dengan menjalankan aktifitas sehari-hari secara normal di tengah masyarakat seraya
memperbaiki dirinya. Terhadap pelaku yang menjalani pidana pengawasan dalam
jangka waktu tertentu tersebut di awasi oleh pejabat pengawas dalam rangka
melaporkan perkembangan pelaku. Terhadap pelaku, jika berkelakuan baik maka jangka
waktu pengawasannya dapat di persingkat, namun jika sebaliknya hukuman dapat
diperberat.
Peranan pidana pengawasan dalam rangka mewujudkan tujuan pemidanaan yaitu
untuk menggantikan pidana perampasan kemerdekaan yang telah banyak menimbulkan
efek negatif bagi pelaku tindak pidana maupun kepentingan masyarakat. Pidana
pengawasan bercita-cita sebagai pelindung kepentingan individu terpidana dan
kepentingan masyarakat yang menjadi arah tujuan pemidanaan modern.
BIBLIOGRAFI
Abidin, Zainal. (1983). Bunga Rampai Hukum Pidana. (No Title).
Anjari, Warih. (2020). Penerapan Pidana Mati Terhadap Terpidana Kasus Korupsi.
Teriyanti Btr, Arika Palapa, Iksan Saifudin
3144 Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024
Masalah-Masalah Hukum, 49(4), 432442.
Dewi, Ernita. (2012). Pemikiran Filosofi Ali Syari’ati. Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu
Ushuluddin, 14(2), 2322442.
Ilham, Andri Rinanda. (2020). Sejarah dan Perkembangan Konsep Kepenjaraan
Menjadi Pemasyarakatan. Historis: Jurnal Kajian, Penelitian Dan Pengembangan
Pendidikan Sejarah, 5(1), 4147.
Kinanthi, Lembah Nurani Anjar, Hamzani, Achmad Irwan, & Rizkianto, Kus. (2022).
Pidana Kebiri Kimia bagi Pelaku Pemerkosa Anak. Penerbit NEM.
Manan, Bagir, Abdurahman, Ali, & Susanto, Mei. (2021). Pembangunan Hukum
Nasional Yang Religius: Konsepsi Dan Tantangan Dalam Negara Berdasarkan
Pancasila. Jurnal Bina Mulia Hukum, 5(2), 176195.
MH, Ridwan Syaidi Tarigan S. H. (2024). Reformasi Hukum Tata Negara: Menuju
Keadilan dan Keseimbangan. Ruang Berkarya.
Moeller, Herman G. (1977). The Correctional Institution in the Climate of Change.
Unafei, Resource Material Series, (14).
Mulyadi, Lilik. (2012). Upaya hukum yang dilakukan korban kejahatan Dikaji dari
perspektif sistem peradilan pidana Dalam putusan Mahkamah Agung RI. Jurnal
Hukum Dan Peradilan, 1(1), 134.
Pratama, Ilham Daffa. (2024). Bantuan Hukum Oleh Pemerintah Provinsi Berdasarkan
Undang-Undang No. 16 Tahun 2011. Hukum Tata Negara.
Rohman, M. Najibur. (2021). Tinjauan Yuridis Normatif Terhadap Regulasi Mata Uang
Kripto (Crypto Currency) Di Indonesia. Jurnal Supremasi, 110.
SE, Nuraini Kemalasari Istiqamah. (2022). Teori Pengambilan Keputusan:
Pengambilan Keputusan Dalam Fungsi Manajemen. Cattleya Darmaya Fortuna.
Widigdo, Mohammad Syifa Amin. (2023). Alternatif Penghukuman Selain Penjara:
Analisis Hermeneutika Kritis Dan Critical Legal Studies. Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, 30(1), 91113.
Copyright holder:
Teriyanti Btr, Arika Palapa, Iksan Saifudin (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: