How to cite:
Rochimah Imawati (2024) Peranan Komunikasi Interpersonal dan Religiusitas Remaja dalam
Menghadapi Proseb Perceraian OrangTua , (06) 07
E-ISSN:
2684-883X
Published by:
Ridwan Institute
PERANAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL DAN RELIGIUSITAS REMAJA
DALAM MENGHADAPI PROSEB PERCERAIAN ORANGTUA
Rochimah Imawati
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Indonesia
Abstrak
Keluarga dalam proses perceraian berada dalam kondisi yang membutuhkan penyesuaian dan
penerimaan yang cukup berat bagi pasangan, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya.
Penelitian kualitatif ini dalam pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi
mendalam terhadap 5-orang subjek. Kasus perceraian pada penelitian ini terjadi setelah
pernikahan berlangsung antara 1522 tahun, dengan demikian respondennya adalah remaja
berusia 1721 tahun. Hasil penelitan menunjukkan bahwa komunikasi interpersonal antara
orangtua (ibu) dengan anaknya dan dimensi religiusitas menjadi faktor yang cukup berperan
menghadapi proses perceraian orangtua mereka, dan lebih siap pada kehidupan sebagai
keluarga yang terpecah.
Kata kunci: Komunikasi Interpersonal, Religiusitas, Remaja, Perceraian,
Abstract
Families in the divorce process are in a condition that requires adjustment and acceptance
that is quite heavy for the spouse, children, and other family members. This qualitative
research in data collection uses interviews and in-depth observations of 5-subjects. The
divorce cases in this study occurred after the marriage lasted between 1522 years, thus the
respondents were teenagers aged 1721 years. The results of the research show that
interpersonal communication between parents (mothers) and their children and the dimension
of religiosity are factors that play a significant role in facing the divorce process of their
parents, and are more prepared for life as a divided family.
.
Keywords: Interpersonal Communication, Religiosity, Teens, Divorce
PENDAHULUAN
Pembahasan perceraian dalam konstruk sosial dianggap sebagai suatu kekurangan-
mampuan dari pihak suami atau istri secara sendiri-sendiri atau sama-sama dalam
membangun dan melanjutkan keluarga mawaddah wa rahmah. Umumnya peristiwa
perceraian dianggap sebagai kegagalan yang tidak layak untuk ditiru dan harus dihindari
bagaimanapun caranya. Anak-anak hasil pernikahan yang bercerai diduga akan mengalami
gangguan dalam perkembangan dan kestabilan emosional. Lebih jauh bahkan dianggap
sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi remaja terjerumusnya kenakalan dan
penggunaan narkoba, menurunnya prestasi belajar, dll. Sisi lain dari anak-anak yang
JOURNAL SYNTAX IDEA
pISSN: 2723-4339 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 6, No. 07, Juli 2024
Rochimah Imawati
3038 Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024
orangtuanya bercerai, dapat akibatkan adanya kegagalan dalam mempersepsikan dan konsep
yang jelas mengenai hubungan dengan lawan jenis, atau kehidupan pernikahan. Hal ini
tampak dari banyaknya penelitian yang memaparkan akibat negatif dari perceraian, juga
penelitian lain yang mendeskripsikan bagaimana dan apa yang dilakukan anak-anak atau
remaja untuk bengkit dari kondisi yang dialaminya tersebut. Saat penulisan ini, Penulis
belum pernah membaca hasil penelitian tentang bagaimana perceraian pada akhirnya, senang
atau terpaksa menjadi pilihan dari anak-anak yang orangtuanya tidak harmonis. Hal ini
menjadi inspirasi bagi penulis untuk melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat
gambaran komunikasi interpersonal dan dimensi religiusitas remaja menghadapi (proses) atau
situasi yang akan berakibat pada perceraian orangtuanya, dan akan menjadi keluarga yang
terpecah. Pemilihan responden ditujukan pada remaja usia 17-22tahun ini karena pada tahap
usia tersebut remaja telah dapat membangun konstruk berfikir yang rasional. Perceraian yang
terjadi pada saat anak-anak telah mencapai usia remaja, mengindikasikan bahwa rumahtangga
orangtua-nya telah berjalan minimal 10-tahun, dimana keluarga tersebut telah bersama dalam
waktu yang cukup lama. Penulis menganggap bahwa perceraian yang terjadi setelah lebih dari
waktu tersebut, adalah keputusan yang serius. Karena itulah menarik untuk diteliti, meski baru
pada sisi-sisi yang terbatas.
Menurut Hurlock, (1997) perceraian merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan
yang buruk dan terjadi apabila suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara
penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Tokoh psikologi sosial dan
kepribadian yang diwakili oleh Allport Sobur, (2017) mengatakan bahwa sikap adalah
kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara tertentu pada situasi tertentu pula.
Perceraian merupakan hal yang sangat emosional yang dapat menenggelamkan anak (dalam
hal ini) remaja pada konflik, yaitu suatu situasi kritis keberfungsian keluarga terhadap
perkembangan anak remaja Santrock, Mondloch, & Mackenzie-Thompson, (2014)
diantaranya kurangnya interaksi yang mereka dapatkan dari kedua orangtua, baik karena
perpindahan tempat tinggal, perubahan pekerjaan orangtua, atau kesulitan keuangan keluarga.
Sementara itu, pengertian komunikasi interpersonal yang dikemukakan oleh
menyatakan:“interpersonal communication is defined as communication that takes place
between two persons who have a clearly established relationship; the people are in some
way connected.” (Anggraini, Ritonga, Kristina, Syam, & Kustiawan, 2022). Komunikasi
interpersonal, adalah yang terjadi diantara dua orang yang telah memiliki hubungan yang
jelas, yang terhubungkan dengan beberapa cara. Komunikasi interpersonal terjadi jika para
komunikator memiliki hubungan yang jelas, berlangsung secara tatap muka, bersifat
interaktif, dapat saling bereaksi satu sama lain. Misalnya komunikasi yang terjadi antara ibu
dengan anak, dokter dengan pasien, dua orang dalam suatu wawancara, dsb; sehingga setiap
komunikator menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau non-
verbal”. Menurut (DeVito & DeVito, 2019) ada 5-aspek komunikasi interpersonal yaitu:
keterbukaan, empati, memberi dukungan, sikap positif, dan kesetaraan. Keterbukaan
(Openness); ialah adanya keinginan untuk saling membuka diri, untuk saling jujur dalam
menanggapi pesan komunikasi dari lawan bicara, serta adanya keinginan untuk menghargai
bahwa perasaan dan pemikiran dalam proses komunikasi tersebut bersifat personal. Empati
(empathy); ialah kemampuan untuk merasakan seandainya menjadi orang lain, dapat
memahami sesuatu yang sedang dialami, apa yang dirasakan orang lain, dan memahami
sesuatu persoalan dari sudut pandang orang lain, melalui kaca mata orang lain tersebut.
Empati dapat dikomunikasikan secara verbal maupun nonverbal. Sikap mendukung
(supportiveness) adalah jika masing-masing pihak yang berkomunikasi memiliki komitmen
mendukung interaksi secara terbuka. Sementara sikap positif (positiveness) dalam komunikasi
Peranan Komunikasi Interpersonal dan Religiusitas Remaja dalam Menghadapi Proses
Perceraian OrangTua
Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024 3039
ditunjukkan dengan berbagai macam perilaku dan sikap terhadap lawan bicara, antara lain:
menghargai, berfikiran positif, tidak menaruh curiga secara berlebihan, meyakini pentingnya
orang lain, memberikan pujian dan penghargaan, komitmen menjalin kerjasama. Terakhir
adalah kesetaraan (equality), yaitu pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki
kepentingan, sama-sama bernilai dan berharga, dan saling memerlukan. Adapun penelitian ini
hendak melihat bagaiman komunikasi interpersonal antara orangtua dengan anak yang
merupakan hubungan yang bersifat lebih dekat dan mendalam. Merupakan jalinan komunikasi
yang terbuka, memberikan rasa aman, sehingga dapat membentuk percaya diri, dan
mendorong kesiapan pada anak dalam menghadapi permasalahan kehidupan. Dengan
demikian informasi dan gambaran pengalaman sekitar ketidakharmonisan dan perceraian
menjadi perihal penting untuk disampaikan oleh orangtua dalam hal ini ibu kepada anak
remajanya.
Konsep Religusitas berasal dari kata Bahasa Inggris yaitu dari kata dasar Religion
yang berarti agama, dan kata religius sendiri berarti keagamaan. Warsiyah, (2018)
menjelaskan bahwa religiusitas merupakan sikap hidup seseorang berdasarkan pada nilai-nilai
yang diyakininya, dan merupakan suatu ekspresi religius yang ditampilkan. Sementara (Agus,
Bunn Jr, Franklin, Garcia, & Ozols, 2000) menyatakan ekspresi religius ditemukan dalam
budaya material, perilaku manusia, nilai, moral, hukum dan sebagainya. Tidak ada aspek
kebudayaan lain dari agama yang lebih luas pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan
manusia. Menurut (Stark, Kent, & Doyle, 1982) dan (ZULFAN, 2021) terdapat 5 dimensi
dalam religiusitas yaitu: keyakinan, praktik agama, penghayatan, pengetahuan agama, dan
pengalaman. Ancok & Suroso, (2001) berpendapat bahwa konsep (Stark et al., 1982) sangat
bagus karena dapat menjelaskan tentang keberagamaan seseorang. (Ancok & Suroso, 2001)
kemudian berpendapat, bahwa konsep tersebut mempunyai kesesuaian dengan Islam.
Walaupun tidak sepenuhnya sama, dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan aqidah,
dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah dan dimensi pengalaman disejajarkan
dengan akhlak. Ketiga dimensi tersebut dijelaskan sebagai berikut: Aqidah bermakna
kepercayaan, dalam Islam disebut sebagai rukun Iman. Syariah. Syariah merupakan
peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung seorang muslim dengan Allah dan
sesama manusia, yang menunjukkan seberapa patuh tingkat ketaatan seorang muslim dalam
mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual keagamaan yang dianjurkan dan diperintahkan oleh
agamanya. Islam menyebutnya sebagai bagaian dari rukun Islam. Akhlak, aspek ini
menunjukkan pada seberapa tingkatan muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran
agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan sesama
manusia. Dalam Islam hal ini meliputi perilaku suka menolong, kerjasama, menegakkan
kebenaran, berlaku jujur, memaafkan, menjaga amanat dan menjaga lingkungannya. Adapun
masa remaja merupakan bagian dari fase perkembangan dalam kehidupan seorang individu.
Masa yang merupakan periode transisi dari masa anak ke dewasa ini ditandai dengan
percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, sosial dan berlangsung pada dekade kedua
masa kehidupan. Dari berbagai literatur menyebutkan rentang usia remaja yang
berbeda-beda, Berdasarkan batasan yang telah dikemukakan rentang usia remaja sangat
bervariasi, akan tetapi awal dari masa remaja relatif sama sedangkan masa berakhirnya masa
remaja lebih bervariasi yang secara ringkasnya adalah dimulai usia 12 tahun hingga 22 tahun
(Santrock & Santrock, 2007)
Rochimah Imawati
3040 Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang bertujuan untuk memelajari
permasalahan yang spesifik sehingga seorang peneliti dapat mengkhususkan diri pada aspek
tertentu dari perilaku atau pengalaman psikologis subyek (Simamora, 2013). Penggunaan
pendekatan ini karena peneliti ingin mengungkapkan bagaimana responden dalam
menghadapi suatu realitas (VanderStoep & Johnston, 2009). Seperti yang sudah disampaikan
sebelumnya, bahwa penulisan ini untuk melihat bagaimana komunikasi interpersonal dan
dimensi religiusitas pada remaja dalam menghadapi proses perceraian orangtua-nya, sehingga
memungkinkan penggunaan pendekatan kualitatif oleh peneliti. Pengumpulan data penelitian
menggunakan teknik wawancara dan observasi. Wawancara yang dilakukan ada dengan
bentuk Focus Group Discussion (FGD) dan dilanjutkan dengan in-depth interview. Partisipan/
subjek penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 3 perempuan dan 2 laki-laki yang
berada di Jakarta Selatan. Dalam rentang usia 16-24 tahun, dibagi dalam saat peristiwa
perceraian terjadi dan saat penelitian. Pendidikan pun dibagi dalam masa peristiwa terjadi dan
saat penelitian, dimana semua berstatus mahasiswa. Data usia pernikahan orangtua dan status
pernikahan keberapa adalah: 3 responden orangtuanya pernikahan pertama, artinya orangtua
kandung semua; 1 responden pernikahan ke-2 tetapi mereka tetap pasangan yang sama,
artinya tetap keduanya orangtua kandung; yang terakhir 1 responden adalah pernikahan ke-2,
yaitu orangtua kandung dan sambung. Berdasarkan kriteria dan teknik tersebut, lima subjek
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Subjek 1, mahasiswa usia 21 tahun
2. Subjek 2, mahasiswa usia 20 tahun
3. Subjek 3, pelajar usia 18 tahun
4. Subjek 4, pelajar usia 17 tahun
5. Subjek 5, mahasiswa 21 tahun.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Remaja sebagai responden dalam penelitian ini, semuanya sepakat bahwa pada awalnya
mereka samasekali tidak pernah menginginkan perceraian kedua orangtuanya. Perceraian
yang menjadikan mereka berada dalam status keluarga yang tidak sama seperti teman-
temannya. Akan tetapi mereka pada akhirnya memilih menyetujui perceraian tersebut. Hal ini
dikarenakan kondisi rumahtangga orangtuanya yang penuh perselisihan adalah suatu
ketidaknyaman yang tidak mau mereka alami terus menerus. Mereka juga lelah dan tidak
tahan melihat adanya salah satu dari orangtuanya (ibu) yang paling menderita dan menjadi
korban dari ketidakharmonisan tersebut. Kasus yang dialami responden peneliti menemukan
semua permasalahan hampir persis sama, yaitu adanya ketidakseimbangan hubungan suami
istri, ibu dan ayahnya. Hasil penelitian ini tidak melaporkan tentang akibat dari perceraian
tersebut, akan tetapi bagaimana remaja menghadapi proses perceraian, yang artinya remaja
mengalami keadaan penyebab perceraian, keputusan untuk bercerai, dan proses pengesahan
perceraian.
Peneliti menanyakan beberapa hal berkaitan dengan komunikasi interpersonal dan
dimensi religiusitas remaja dalam (proses) perceraian orangtuanya, misalnya:
Peranan Komunikasi Interpersonal dan Religiusitas Remaja dalam Menghadapi Proses
Perceraian OrangTua
Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024 3041
1. Apakah orangtuanya pernah membicarakan permasalahan hubungan tidak harmonis suami-
istri yang tampak dalam pertengkaran atau kekerasan rumahtangga. Apakah orangtua
meminta persetujuan atau memberitahukan rencana dan proses perceraian tersebut.
2. Semua responden merasakan situasi hubungan suami istri dari orangtuanya sebagai
hubungan yang tidak biasa. Subjek 2, 3, 5 menyatakan bahwa pertengkaran dan kekerasan
fisik yang dialami ibunya itu mereka saksikan hampir setiap hari, sejak mereka masih usia
anak-anak. Subjek-4 meski tidak ada kekerasan fisik pada ibunya, tetapi terjadi
pelemparan-pelemparan barang sebagai ekspresi amarah dalam pertengkaran. Pada Subjek-
1 orangtuanya tidak pernah mengekspresikan ketidakharmonisan tersebut, hanya antara
mereka saja.
3. Dalam komunikasi interpersonal antara orangtua (ibu) dengan mereka sebagai anaknya
yang remaja, perihal perceraian masing-masing tidaklah sama.
Subjek-1: Menceritakan bahwa selama ini ia memang menangkap ada yang tidak beres
pada hubungan orangtua-nya. Maka ketika mama bicara secara khusus perihal rencana untuk
bercerai, ia cukup terkejut. Kemudian terjadilah perbincangan yang mendalam dan bersifat
sangat pribadi tentang kondisi pernikahan orangtua-nya. Hasil perbincangan yang intens ini
membuat Subjek-1 menyetujui dan menyatakan siap untuk mendukung perceraian orangtua-
nya (mama) dan proses legalisasinya”.
Subjek-2: Baginya pertengkaran dan kekerasan dalam rumahtangga orangtuanya, sudah
menjadi mimpi buruk yang dialami setiap malam, nyaris tidak tidur setiap malamnya tersebut
karena khawatir terjadi sesuatu pada ibunya, dan ia sering pingsan diluar rumah (tanpa
diketahui orangtuanya). Maka ketika sang ibu mengajaknya bicara secara khusus bahwa ibu
tidak mampu lagi untuk bertahan dalam rumahtangga, ia langsung merespon memberikan
persetujuan. Subjek-2 mengingatkan bahwa perceraian sudah sangat layak untuk dijadikan
keputusan demi mengakhiri konflik yang tidak berkesudahan.
Subjek-3: Mengalami semua drama pahit orangtuanya, ketika orangtuanya dalam hal
ini ibunya menyampaikan rencananya untuk bercerai, ia hanya menangis sesunggukan, tidak
mampu berkomentar banyak. Melalui pihak ketiga yaitu guru pembimbingnya di sekolah,
peneliti mendapatkan informasi bahwa Subjek-3 sambil menangis mencurahkan beban
perasaannya dan menyatakan perasaan bersalah karena selama ini telah menganggap dan
berpura-pura tidak ada sesuatu yang serius. Namun dalam kebingungannya ia berjanji akan
tetap mendukung ibunya.
Subjek-4: Menyatakan mengalami kejadian yang sangat personal dari orangtuanya yang
menurutnya aneh”, ia menyebutnya heat and relation”. Dalam pertengkaran mereka yang
sangat melelahkan karena selalu dilakukan tengah malam hingga dinihari, ia selalu dilibatkan
dan dijadikan bemper”. Ini adalah perceraian yang ke-2 dari mereka. Dulu mereka bercerai
ketika ia masih kelas 2 SD, ia menolak perceraian tersebut meski orangtuanya (mama)
mengatakan bahwa papanya tetaplah orangtua yang bias ditemui kapan saja, hanya dengan
mama berpisah secara legal. Saat itu Subjek-4 mogok makan, mendekam di kamar hingga
beberapa hari. Namun beberapa bulan kemudian dengan alasan yang tidak semuanya
dipahami mereka rujuk. Ternyata tidak ada perubahan apapun. Ketika untuk yang ke-2
kalinya sang mama menyampaikan rencananya untuk bercerai kembali, ia tidak terlalu peduli
Rochimah Imawati
3042 Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024
dan tidak banyak komentar, dan akan menyetujui apapun keputusan orangtua-nya. Subjek-4
merasa tidak berguna selama ini pendapat dan sarannya tentang bagaimana seharusnya
orangtuanya menjalankan hubungan suami istri.
Sementara Subjek-5: sebetulnya rumahtangga orangtuanya ini adalah pernikahan ke-2
mamanya, dengan papa kandungnya sudah bercerai sejak ia masih kelas 2 SD. Sebagai anak
tunggal, ia merasa semua beban psikologis dari rumahtangga orangtuanya menjadi
tanggungjawabnya. Subjek-5 sudah sampai tahap tidak dapat mengekspresikan emosinya
melihat kekerasan fisik yang dialami ibunya, dimana akibat dari keadaan tersebut mama-nya
mengalami kecacatan. Subjek-5 merasa mamanya selama ini tidak terlalu menanggapi
pendapatnya tentang bagaimana harus bersikap dalam berumahtangga, padahal ia merasa
sangat prihatin atas apa yang terjadi tersebut. Maka ketika mamanya memberitahukan bahwa
ia hendak bercerai dari suaminya, ia langsung menyetujui demi mengakhiri konflik dan
kegaduhan dalam rumahtangga orangtua-nya (mama) dengan suaminya.
Bagaimanakah peranan religiusitas dalam keseharian remaja, terutama dalam proses
perceraian tersebut.
Subjek-1: Menjawab pertanyaan peneliti tentang peranan agama dalam kehidupannya
secara pribadi atau dalam keluarga, ia menyatakan bahwa kehidupan mereka dalam ber-
agama biasa saja. Ternyata proses perceraian ini tidak sekedar melakukan legalitas, saya
sebagai anak pertama dan laki-laki, menjadi tumpuan mama. Ia harus berkomunikasi dengan
papa-nya, adik-adiknya, mengenai pengurusan proses perceraian. Mamanya menjadi rentan
secara psikologis pada masa-masa ini, ia betul-betul harus mengcover dan hadir untuk mama-
nya. Pada saat seperti inilah, ia terpanggil untuk melakukan ibadah shalat. Subjek-1
menyatakan bahwa sebetulnya awalnya ia tidak rutin melakukannya, tetapi ternyata tidak ada
tempat yang aman dan leluasa baginya untuk berkeluhkesah mencurahkan semua beban
psikologis. Dengan shalat subjek-1 menyatakan merasa nyaman, dan berkeinginan untuk
mulai menikmati dan berusaha untuk melakukan sesuai dengan ketentuan waktu-nya.
Subjek-2: Berada dalam lingkungan keluarga dan sosial yang religius. Sejak TK, SD,
SMP, dan SMA ia berada di lembaga pendidikan yang bernafaskan religius. Internalisasi
nilai-nilai religiusitas tertanam secara kognitif, psikologis, dan perilaku, semua itu adalah
kehidupannya. Ia sangat paham bagaimana aturan dan norma suami-istri yang seharusnya
menurut agama (Islam), dimana justru ia tidak melihatnya pada orangtuanya. Ia tahu tentang
bagaimana rumahtangga harus dijalankan, dan kapan suatu perceraian diperbolehkan bahkan
dianjurkan. Ketika masih SD. Subjek-2 mengusulkan perceraian ke ibu-nya karena tidak tahan
melihat ketidakharmonisan dan kekerasan fisik yang dialami ibu-nya. Seiring dengan
keilmuan yang ia peroleh di sekolahnya, ia meyakini bahwa perceraian bukanlah aib, bahkan
menjadi wajib hukumnya. Kemudian ketika ibu-nya menyampaikan rencana tersebut ia
langsung menyetujui.
Subjek-3: Ia berada dalam lingkungan keluarga yang religius namun moderat, dan oleh
ibunya selalu disekolahkan di lembaga yang berbasis religius. Sebagaimana remaja pada
umumnya, ia sering mencoba-coba untuk meninggalkan ibadah ritual (shalat). Namun secara
konseptual nilai religi ia berpegang teguh. Hal ini tampak dalam perilakunya, misal: punya
Peranan Komunikasi Interpersonal dan Religiusitas Remaja dalam Menghadapi Proses
Perceraian OrangTua
Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024 3043
banyak teman dan kelompok sosial, tetapi tetap berhati-hati dalam memilih kegiatan agar
tidak terjerumus yang dilarang agama. Ketika ibunya membicarakan tentang perceraian dari
bapa-nya, ia shock, tetapi ia sangat mengingat pelajaran agama yang diterimanya mengenai
berbakti pada ibu. Kepada ibu pembimbing sekolah ketika ia mencurahkan kesedihannya dan
bagaimana harus menghadapi perceraian tersebut, ia sangat diingatnya dengan jelas hadits
Nabi tentang keutamaan berbakti pada ibu. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia
berkata: “seorang laki-laki dating kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sambal
berkata: ‘wahai Rosulullah, siapakah orang yang paling brhak aku berbakti kepadanya?’,
Beliau menjawab: ‘ibumu’. Dia bertanya lagi: ‘kemudian siapa?’, Beliau menjawab:
‘ibumu’. Dia bertanya lagi: ‘kemudian siapa?’, Beliau menjawab: ‘ibumu’. Dia bertanya
lagi: ‘kemudian siapa?’, Beliau menjawab: ‘kemudian ayahmu’. Dari sinilah, maka Subjek-3
tahu kemana ia harus memberikan dukungan.
Subjek-4: Menjelaskan bahwa orangtuanya biasa saja dalam beragama, tetapi kakeknya
sangat religius. Dalam kondisi tekanan yang ia rasakan sangat berat, karena selain
berhadapan dengan kondisi internal di rumahnya, tekanan lainnya datang secara sosial dari
lingkungan tempat tinggal dan sekolah, mencemoohnya sebagai anak brokenhome. Subjek-4
yang bersekolah SD dan SMP di lembaga religius, membuatnya terbiasa dengan kegiatan
ibadah keseharian dan perilaku religious lainnya. Akan tetapi menurutnya yang sangat
berpengaruh adalah kedekatan dengan kakeknya yang religius, dimana beliau selalu bersedia
mendengarkan keluhan dan kekesalannya, yang semua itu ditanggapi dengan menyelipkan
nilai-nilai religiusitas. Hal inilah yang menjadi kekuatan baginya.
Subjek-5: Bagi Subjek-5, agama dan ritualnya, seadanya saja, formalitas saja. Tekanan
kondisi rumahtangga orangtuanya, ia mendapat penghiburan dan dukungan sosial dari teman-
temannya. Dalam kondisi tersebut, Subjek-5 terus saja berpikir dan berbicara pada dirinya
sendiri untuk menghadapi, menerima semua ketidaknyaman ini sendiri saja, sebagai anak
tunggal, dan tidak mungkin baginya mengadukan perihal orangtua terhadap orang lain
sekalipun kepada kerabat. Dan ternyata subjek-5 tidak menjadikan ibadah ritual sebagai
media untuk mengadukan permasalahannya, ia hanya merenung dan berbicara dalam hatinya
secara internal. Dengan demikian Subjek-5 membangun kekuatan diri dan menjaga kestabilan
psikologis dengan pikirannya, melalui teman-temannya, dan merenung secara transendental.
Berdasarkan hasil wawancara dengan remaja sebagai subjek bagaimana komunikasi
interpersonal dengan orangtua (ibu) dan dimensi religiusitas dalam (proses) perceraian
orangtua mereka, disimpulkan sebagai berikut:
1. Komunikasi Interpersonal. Adanya keterbukaan dan kejujuran ibu mengenai keadaan dan
hubungan sebagai suami istri (antara ibu dan bapaknya), membuat subjek mengenali dan
memahami situasi dalam keluarga. Keterbukaan sang ibu ini pada Subjek 1, 2, 3 bahkan
bersifat kesetaraan, sehingga memunculkan rasa empathy dari subjek kepada ibu untuk
saling mendukung dan adanya rasa positif dalam menghadapi proses perceraian serta
dampak-dampak yang akan menyertainya. Sementara pada Subjek 4 dan 5, sifat
komunikasi ibu meski terbuka tetapi tidak sepenuhnya, dan bersifat satu arah, tidak adanya
kesetaraan. Subjek memang memiliki empathy terhadap ibu mereka, namun keterbukaan
yang tidak setara tersebut membuat mereka bingung untuk memberikan dukungan, mereka
Rochimah Imawati
3044 Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024
tidak sepenuhnya ada rasa positif dalam menghadapi permasalahan proses perceraian
tersebut.
2. Dimensi Religiusitas. Religiusitas atau kehidupan beragama baik secara konseptual
maupun perilaku bagi Subjek 2, 3, 4 sudah menjadi bagian kehidupan. Proses perceraian
orangtua adalah permasalahan yang cukup berat bagi mereka, namun mereka dapat
mengatasi dan mensikapi permasalahan tersebut dengan tawakkal sebagai hasil
pemahaman dan pengamalan religiusitas atau perilaku keberagamaannya. Sementara pada
Subjek 1 dan 5 yang kehidupan dan lingkungan keluarganya yang sisi religiusitas biasa-
biasa saja, maka pada masa-masa tersebut menyadari bahwa mereka membutuhkan suatu
tempat yang transendental dan Ilahiah. Karenanya mereka mulai mencari dan menjalankan
ritual keberagamaan atau ibadah, sebagai bagian copping.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa proses perceraian adalah serangkaian peristiwa
dan kondisi yang tidak aman secara psikologis yang dialami anak-anak. Hal ini menjadikan
anak-anak suka atau tidak, sampai pada sebuah pilihan untuk merelakan orangtua-nya
bercerai, dan mereka harus siap beradaptasi menjadi keluarga yang terpecah. Tulisan telah
mencoba mendeskripsikan peranan komunikasi interpersonal ibu dan anaknya, dan peran
religiusitas dari subjek penelitian.
Melalui Komunikasi interpersonal antara ibu dan anaknya, anak sebagai subjek
penelitian, yaitu tentang keterbukaan ibu dengan anak-anaknya tentang keadaan pernikahan
dan hubungan mereka dengan sang ayah, berperan penting dalam membentuk pemahaman
subjek mengenai dinamika keluarga. Keterbukaan tersebut telah menumbuhkan rasa percaya
dan keamanan psikologis, sehingga anak-anak dapat memproses emosi mereka dan
menghadapi situasi yang kompleks dengan cara yang sehat (Keikazeria & Ngare, 2020).
Dengan menyampaikan kondisi keluarga dan perspektif secara terbuka, ibu telah mengajak
anak untuk mengembangkan empati dan pengertian terhadap kedua orang tuanya.
Komunikasi terbuka ini memungkinkan anak untuk melihat situasi dari berbagai sudut
pandang, sehingga menumbuhkan rasa kasih sayang dan mencegah adanya menyalahkan atau
kebencian. Komunikasi interpersonal ini berguna untuk menciptakan saling mendukung
secara psikologis dan bersama-sama memikirkan dan melaksanakan tindakan apa saja yang
diperlukan untuk selesaikan masalah tersebut. Sehingga mereka akan dapat segera bangkit
kembali dalam kehidupan yang baru.
Sementara itu peran religiusitas pada subjek penelitian ini, menunjukkan bagaimana
Aqidah dan pelaksanaan ibadah dapat menjadi salah satu sumber kekuatan, ketahanan, dan
bimbingan yang dibutuhkan oleh para subjek penelitian untuk menghadapi pengalaman hidup
yang menantang, terutama proses perceraian yang penuh dengan emosi dan perubahan hidup.
Para subjek penelitian ini melalui keyakinan akan nilai hakiki agamanya ini, telah
mendapatkan keyakinan bahwa mereka telah mengambil keputusan terbaik untuk orangtuanya
dan untuk diri mereka sendiri (Devi, 2015). Melalui kepasrahan dan ibadah sebagai sarana
komunikasi dengan Tuhannya, maka para subjek ini menemukan ketenangan, kekuatan, dan
keberanian untuk melangkah maju dengan harapan untuk masa depan baru yang tidak pernah
terbayangkan sebelumnya oleh subjek sebagai anak-anak
Peranan Komunikasi Interpersonal dan Religiusitas Remaja dalam Menghadapi Proses
Perceraian OrangTua
Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024 3045
KESIMPULAN
. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa remaja yang menghadapi proses
perceraian orangtua mereka mengalami perjalanan emosional yang kompleks. Meskipun pada
awalnya mereka tidak menginginkan perceraian tersebut, namun mereka akhirnya memilih
untuk mendukung keputusan tersebut karena kondisi rumah tangga yang tidak harmonis dan
penuh perselisihan antara orangtua. Komunikasi interpersonal yang terbuka antara ibu dan
anak sangat berperan dalam membantu remaja memahami dinamika keluarga dan mengelola
emosi mereka. Keterbukaan ini tidak hanya membangun kepercayaan dan rasa aman
psikologis, tetapi juga memungkinkan mereka untuk mengembangkan empati dan pengertian
terhadap kedua orang tua.
Di sisi lain, dimensi religiusitas juga memainkan peran penting dalam membantu remaja
mengatasi perasaan sulit mereka. Bagi remaja yang memiliki latar belakang kehidupan
beragama yang kuat, agama memberikan sumber kekuatan, ketahanan, dan bimbingan moral
yang diperlukan untuk menghadapi tantangan hidup seperti perceraian ini. Melalui ibadah dan
keyakinan dalam nilai-nilai agama mereka, remaja ini menemukan ketenangan, kekuatan, dan
keberanian untuk melangkah maju dan menghadapi masa depan yang baru.
BIBLIOGRAFI
Agus, David B., Bunn Jr, Paul A., Franklin, Wilbur, Garcia, Marileila, & Ozols, Robert F.
(2000). Her-2/Neu As A Therapeutic Target In Non-Small Cell Lung Cancer, Prostate
Cancer, And Ovarian Cancer. Seminars In Oncology, 27(6 Suppl 11), 5363.
Ancok, Djamaludin, & Suroso, Fuad Nashori. (2001). Psikologi Islam: Solusi Islam Atas
Problema-Problema Psikologi (Ardani Sungaidi, Ed. Pustaka Pelajar.
Anggraini, Citra, Ritonga, Denny Hermawan, Kristina, Lina, Syam, Muhammad, &
Kustiawan, Winda. (2022). Komunikasi Interpersonal. Jurnal Multidisiplin Dehasen
(Mude), 1(3), 337342.
Devi, Lisa. (2015). Proses Komunikasi Interpersonal Ibu Yang Bekerja Dalam Pembentukkan
Sikap Konatif Anak. Jurnal E-Komunikasi, 3(1).
Devito, Joseph A., & Devito, J. (2019). The Interpersonal Communication Book. Instructor,
1(18), 521532.
Hurlock, Elizabeth B. (1997). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan.
Keikazeria, Vhinizza Meidy, & Ngare, Ferdinandus. (2020). Komunikasi Interpersonal Ibu
Dan Anak Dalam Pembentukan Karakter Beribadah Anak. Jurnal Communio: Jurnal
Jurusan Ilmu Komunikasi, 9(2), 16131629.
Santrock, John W., Mondloch, Catherine J., & Mackenzie-Thompson, Anne. (2014).
Essentials Of Life-Span Development.
Santrock, John W., & Santrock, John W. (2007). Psikologi Pendidikan Edisi Kedua. Kencana
Prenada Media Group.
Simamora, Reni Suwyani. (2013). Perbedaan Pola Asuh Ununvolved Ditinjau Dari Urutan
Kelahiran Pada Waria. Universitas Medan Area.
Sobur, Alex. (2017). Kamus Besar Filsafat: Refleksi, Tokoh, Dan Pemikiran. Pustaka Setia.
Stark, Rodney, Kent, Lori, & Doyle, Daniel P. (1982). Religion And Delinquency: The
Ecology Of A" Lost" Relationship. Journal Of Research In Crime And Delinquency,
Rochimah Imawati
3046 Syntax Idea, Vol. 6, No. 07, Juli 2024
19(1), 424.
Vanderstoep, S., & Johnston, D. (2009). Methods For Blending Qualitative And Quantitative
Approaches. John Wiley & Sons, Inc. Http://Doi. Org/10.1007/978-1-61737-960-4_9.
Warsiyah, Warsiyah. (2018). Pembentuk Religiusitas Remaja Muslim (Tinjauan Deskriptif
Analitis). Cendekia: Jurnal Kependidikan Dan Kemasyarakatan, 16(1), 1940.
Zulfan, Chalist Dwivanera Putri. (2021). Hubungan Religiusitas Dan Dukungan Sosial
Terhadap Family Quality Of Life Pada Orangtua Dengan Anak Berkebutuhan Khusus.
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Copyright holder:
Rochimah Imawati (2024)
First publication right:
Syntax Idea
This article is licensed under: