Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X

Vol. 4, No. 12, Desember 2022

 

PENGELOLAAN RUANG BAWAH TANAH DALAM REFORMASI HUKUM PERTANAHAN DI INDONESIA

 

Nur Nafa Maulida Atlanta, Bayu Dwi Anggono, Fendi Setyawan

Fakultas Hukum Universitas Jember, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Kondisi sulitnya memperoleh ataupun memakai bidang permukaan bumi di wilayah perkotaan mengakibatkan masyarakat mulai mencari sejumlah bidang tanah di bawah permukaan bumi. Maka, diperlukan sebuah inovasi terobosan pembangunan yang bisa mengatasi perkembangan kebutuhan masyarakat itu yakni ruang di bawah permukaan bumi. Pemanfaatan ruang bawah tanah, yakni UUPA, secara otomatis mengacu pada hak milik dalam pembahasan pemanfaatan ruang bawah tanah. Tujuan, untuk menemukan sistem pemberian hak atas tanah atau hak pengelolaan pada ruang bawah tanah dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja terhadap perseorangan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan teknik pengumpulan dari kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Hasil dari penelitian ini yaitu Sistem pemberian hak atas tanah ataupun hak pengelolaan pada ruang bawah tanah dalam UUPA melalui melandaskan terhadap ketetapan Pasal 2 ayat (2) UUPA, istilah menguasai ditafsirkanmengatursertamenyelenggarakan�. Undang-Undang Cipta Kerja kepada perseorangan ataupun badan hukum diberikan HGB serta HP dengan jangka waktu sebagaimana yang terdapat konsep pengelolaan ruang bawah tanah pada pasal 146 ayat (1) hingga (5) UUCK yaitu ayat (1) Tanah ataupun ruang yang terbentuk di ruang atas maupun bawah tanah serta dipakai kegiatan tertentu bisa diberikan HGB, HP, atau HPL. Kesimpulan, Wewenang Negara itu berkaitan terhadap (a) penggunaan dan/atau peruntukan, persediaan, serta pemeliharaan atas bumi, air, ruang angkasa maupun kekayaan alam di wilayah NKRI; (b) penentuan maupun pengaturan macam hak atas tanah; (c) penentuan maupun pengaturan beberapa hubungan hukum antar orang maupun badan hukum yang berobjekkan tanah.

.

 

Kata kunci: Pengelolaan, Ruang bawah tanah, Reformasi hukum pertanahan

 

 

Abstract

The difficulty of obtaining or using the earth's surface in urban areas has resulted in people starting to look for a number of plots of land below the earth's surface. Thus, a development breakthrough innovation is needed that can address the development of community needs, namely the space below the earth's surface. The use of basements, namely UUPA, automatically refers to property rights in discussing the use of basements. The aim is to find a system for granting land rights or management rights to basements in Law Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Regulations and Law Number 11 of 2022 concerning Job Creation for individuals. This research is a normative juridical research with collection techniques from the literature which consists of primary and secondary legal materials. The results of this study are the system of granting land rights or management rights to basements in the BAL by basing it on the provisions of Article 2 paragraph (2) of the BAL, the term "management" and "organizes". The Job Creation Law is for individuals or legal entities that are given HGB and HP for a period of time as contained in the concept of basement management in Article 146 paragraph (1) to (5) of the UUCK, namely paragraph (1) The land or space formed in the upper room or underground and used for certain activities can be given HGB, HP, or HPL. In conclusion, the State Authority relates to (a) the use and/or allotment, supply and maintenance of the earth, air, space and natural resources in the territory of the Republic of Indonesia; (b) payment or arrangement of types of land rights; (c) paying or arranging several legal relations between people and legal entities with land as objects.

 

Keywords: Management; Basement; Land law reform.

 

Pendahuluan

Tanah adalah karunia sang pencipta yang merupakan salah satu sumber utama kelangsungan hidup dan penghidupan seluruh rakyat. Bangsa Indonesia berfalsafah bahwa tanah dipergunakan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan dibagi secara adil dan merata (Wardani, 2019). Guna mencegah terjadinya kekosongan yang peraturan (recht vacuum), seraya menunggu hal itu maka ditetapkan Pasal II Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (yang selanjurnya disebut UUD NRI 1945), yaitu menjelaskan menggunakan peraturan pertanahannya sebelumnya yang sudah digunakanselama masih belum ada peraturan baru yang mengatur" (Hayati, 2015). Aturan Peralihan merupakan cikal bakal Indonesia mengatur secara keseluruhan regulasi tentang pengelolaan tanah secara mandiri selain itu juga wilayah Indonesia yang mencakup atas laut, udara serta darat termasuk ruang angkasa.

Regulasi persolaan pengelolaan tanah diatur pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 terkait Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya disebut UUPA). Tanah adalah bagian kesatuan dari keberadaan kehidupan manusia. Seperti yang dikemukakan oleh (Harsono, 1994), regulasi pertanahan adalah sebuah kerangka. Selainpengaturan pertanahan merupakan bidang yang berdiri sendiri sebagai bagian dari ilmu pengetahuan secara ketentuan peraturan yang memiliki kedudukannya sendiri dalam masyarakat secara keseluruhan seperangkat hukum yang substansinya adalah keseluruhan pengaturan hukum yang tersusun dan tidak tertulis dan dalam perspektif hak-hak istimewa penggunaan tanah sebagai lembaga yang diakui oleh hukum dan suatu hubungan yang substansial, dengan sudut publik maupun umum, yang bisa dikumpulkan serta dikonsentrasikan dengan efisien sehingga keseluruhan berubah menjadi satu kesatuan (Harsono, 1994). Pasal 33 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 mengemukakan bahwabumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya akan dikuasai dan dimanfaatkan oleh negara, untuk berhasilnya tujuan makmurnya masyarakat indonesia.� Pedoman untuk persoalanan agraria di Indonesia dilakukan pengaturan pada UUPA.Dengan demikian, pedoman ketentuan pengaturan agraria harus dimulai dengan pengaturan pasal 33 yang mengemukakan bahwabumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, digunakan untuk kemakmuran masyarakat indonesia.�

Sejalan dengan hal diatas adapun permasalahan lain yang saat ini dihadapi yaitu ketersediaan lahan menjadi kendala pada penyelenggaraan pembangunan mengingat luas lahan yang tidak bertambah akan tetapi kebutuhan akan lahan terus mengalami peningkatan baik untuk mata pencaharian, bisnis maupun kebutuhan yang lain misalnya infrastruktur (Fajriany, 2017). Pada beberapa kota dimana tingkat kepadatan penduduknya makin padat serta kemampuan untuk menyediakan tanah telah makin terbatas maka ketergantungan akan hasil rekayasa akan makin tinggi. Pemakaian ruang di bawah tanah pastinya akan membawa pengaruh kepada pengaturan lembaga hak-hak atas tanah yang sudah ada yang bila tidak segera diadakan sejumlah pemikiran yang mendalam akan bisa mempunyai akibat atas munculnya sejumlah permasalahan hukum serta sosial yang akan menjadi kendala pada kelancaran pembangunan. Begitu pula akan timbul tuntutan yuridis terkait hak atas tanah apa yang bisa diberikan serta sampai sejauh apa batas kewenangan dari pemegang hak atas tanah penggunaan tanahnya melalui terdapatnya fasilitas lainnya yang ada di bawah hak atas tanahnya dan perlindungan hukum yang bisa didapatkannya jika nanti pada kemudian hari muncul sengketa (Adhim, 2019).

Secara resmi telah dicanangkan Undang-Undang Nomor. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UUCK).Maka selanjutnya segala pengaturan yang berkaitan atas tanah digunakannya UUCK sebagai dasar. namun saat ini UUPA yang masih digunakan juga dalam hal pengaturan tanah, UUPA sendiri masih menjadi undang-undang khusus (lex spesialis) yang mengatur segala bentuk pengelolaan tanah serta hak-hak atas tanah di Indonesia, tujuan diundangkannya UUCK satu diantaranya untuk meningkatkan taraf perekonomian Indonesia namun disisi lain menimbulkan permasalahan lainnya yang kaitannya dengan sistem pengelolaan hak atas tanah, disamping itu pula bagaimana prosedur pemberian hak tanah pada ruang bawah tanah dalam UUCK juga harus dijelaskan secara detail, setidaknya dengan diundangkannya UUCK masih relevan atau berjalan beriringan juga dengan tujuan hukum pertanahan di Indonesia bukan hanya sekedar melihat nilai investasinya saja tetapi melihat kepada tujuan regulasi atas tanah di Indonesia, melalui diberikannya kemudahanhak pengelolaan atas tanah kepada investor, sehingga tidak merugikan warga negara Indonesia selaku pemilik atas tanah dipermukaan maupun dibawah bumi di Indonesia.

Peraturan hukum yang ada tidak secara tegas mengatur pemanfaatan dan pemanfaatan ruang di atas tanah dan ruang bawah tanah, sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi kasus pemanfaatan dan pemanfaatan ruang, pembangunan dan kemajuan ekonomi. Misalnya, instrumen status hak basement sama dengan dasar hak di atasnya. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan yang ada tidak mempertimbangkan perkembangan dan kemajuan teknologi. Sehingga tidak dapat menjawab pertanyaan yang ada terkait penggunaan dan pengembangan ruang atas dan bawah tanah (Sakti, n.d.).

Oleh karena itu, perlu adanya inovasi pengembangan yang melampaui pengembangan ruang bawah permukaan (basement) yang menjadi kebutuhan masyarakat. Namun terobosan maupun inovasi itu pastinya memerlukan dukungan hukum. Hal ini memastikan bahwa pelaksanaannya membawa kepastian hukum serta keadilan untuk semua lapisan masyarakat. Pada perihal ini, tentu saja harus kembali berdasarkan hukum pertanahan, yakni UUPA.

 

Metode Penelitian

Tipe penelitian pada penulisan tesis ini adalah Yuridis Normatif (legal research) yaitu mencari serta menemukan suatu kebenaran yang koherensi melalui cara dengan mencari adakah aturan hukum yang telah sesuai dengan norma hukum dan adakah norma berupa sebuah perintah maupun larangan tersebut telah sesuai prinsip hukum dan apakah seseorang bertindak menurut norma hukum (Marzuki, 2005). Penelitian ini dilaksanakan dengan cara menganalisis beberapa norma hukum yang sifatnya formil, seperti undang-undang, peraturan lain yang berakaitan dan literatur lain yang berisikan konsep teoritis, dan kemudian dikaitkan dengan masalah yang dibahas dalam karya tulis berupa tesis (Ciputat, 2020). Penelitian ini menggunakan pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan sejarah (Histori approach).

 

Hasil dan Pembahasan

Umumnya kepemilikan tanah di Indonesia dilakukan pengaturan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 Pasal 2 Pasal 4 Ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 terkait UUPA, artinya, negara menguasai bumi dan air serta kekayaan alam yang dikandungnya, negara menetapkan jenis-jenis hak atas permukaan bumi, dan negara menetapkan hak atas tanah itu kepada rakyat secara sepihak atau kepada orang lain dan badan hukum lainnya apabila yang bersangkutan memiliki hak menggunakan tanah maupun air dan ruang yang terdapat diatasnya, dibutuhkan hanya untuk kepentingan yang berhubungan langsung terhadap pemakaian tanah tersebut. Pasal 33(3) UUD 1945, Pasal 2 dan 4 UUPA dengan tegas hanya memberikan dasar bagi hak atas tanah di atas permukaan.

Mengenai penggunaan dan pengembangan ruang bawah tanah, masalah hukum di sini bisa menjadi rumit dengan masalah peraturan dan hukum pada bidang lainnya misalnya penataan ruang (Wahid & SH, 2016). Pengadaan tanah untuk pembangunan guna kepentingan umum, pertambangan, kehutanan, perkebunan, sumber daya air, perumahan maupun kawasan permukiman, ketenagalistrikan, rumah susun, perlindungan sumber daya alam hayati maupun ekosistemnya, pengelolaan wilayah pesisir maupun sejumlah pulau kecilnya, wakaf serta masyarakat adat (Hermawan & Hananto, 2021).

Mengacu pada sudut pandang teori kepastian hukum berlandaskan Utrecht mempunyai kandungan dua definisi, yakni pertama, terdapatnya aturan-aturan umum yang memberitahukan kepada individu-individu tindakan yang bisa dan tidak bisa dilakukan, serta kedua, berupa persamaan hukum bagi orang perseorangan, persamaan hukum bagi orang perseorangan, dengan penyelewengan, dapat dipaksakan atau dilaksanakan oleh negara terhadap individu (Yanto, 2020). Maka sehingga Negara harus memiliki landasan dasar atas pengelolaan atas hak atas ruang bawah tanah. Maka berdasarkan teori diatas setiap gejala kehidupan dimasyarakat maka harus berpegang teguh atas peraturan yang telah disepakati, Melalui pemakaian interpretasi ekstensif Pasal 4 ayat (2) UUPA, RUU Pertanahan, mengingat ruang bawah tanah terpisah dari penggunaan hak atas tanah, ada dua alternatif pertimbangan terkait konstruksi yuridisnya. Di satu sisi, undang-undang hukum yang berbeda (dari badan hukum yang berbeda) dapat ditetapkan untuk penggunaan ruang di atas maupun di bawah tanah, termasuk status hak atas tanah dengan sebutan tambahan: HGB (bawah tanah), HP (bawah tanah) serta hak lainnya. Setiap orang lain yang yurisdiksinya berlaku mutatis mutandis terhadap yurisdiksi atas hak atas tanah menurut ketetapan aturan perundang-undangan (Hermawan & Hananto, 2021).

Sejalan dengan itu dalam ketetapan Pasal 2 ayat (2) UUPA, diksi menguasai ditafsirkanmengatursertamenyelenggarakan� yang selanjutnya oleh MK (Putusan MK RI No. 35/PUU-X/2012; Putusan MK RI No. 50/PUUX/2012; serta Putusan MK RI No. 3/PUU-VIII/2010) diberi ketegasan akan makna darimenguasaiyakni melakukan perumusan ataupun melakukan pembuatan kebijakan, mengatur, mengurus, melakukan pengelolaan serta melakukan pengawasan. Kekuasaan negara berkaitan terhadap

(a)    penggunaan dan peruntukan, penyediaan dan pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa serta sumber daya alam dalam wilayah kedaulatan negara kesatuan RI;

(b)   menentukan serta mengatur jenis-jenis hak atas tanah;

(c)    menentukan maupun mengatur hubungan hukum antara orang perseorangan dan/atau badan hukum dengan objek real estat; Singkatnya, kekuasaan negara harus mempunyai tujuan guna mencapai sebesar-besarnya kemakmuran masyarakatnya. Sehingga melalui diskursus sekitar tahun 1991, pembagian hak atas tanah yang sumbernya dari hak milik negara diperkenalkan oleh para ahli agraria berdasarkan Pasal 4 UUPA.

Hak atas tanah berlandaskan UUPA objeknya ialah hak milik yang berada di permukaan bumi ataupun tertutup air sampai batas tertentu. Jika sertifikat hak atas tanah ada di sungai, laut, danau serta diberikan kepada orang pribadi atau badan hukum tanpa izin pemerintah, air laut, danau, sungai, dan tanah di bawah danau dianggap sebagai tanah berdasarkan UUPA untuk haknyaa. Pelanggaran hukum yang termasuk dalam peraturan atau hukum administrasi pidana.

Tanah disebut tanah apabila hak dan kegunaannya adalah penggunaan tanah di atas tanah, badan tanah atau penggunaan tanah secara konkrit masih berkaitan dengan penggunaan tanah di atas tanah (Mustofa, SH, & Suratman, 2022). Garasi parkir bawah tanah dan pemakaian ruang udara gedung 100 lantai masih tergolong overburden. Artinya pemegang HGB/HP/HPL dapat membangun gedung dengan 5 lantai di bawah tanah dan sampai dengan 100 lantai, tetapi ruang di bawah lantai dasar dan di atas 100 lantai bukan lagi haknya. Definisi pasca UUCK tentang tanah telah diperluas untuk mencakup ruang di atas tanah serta bawah tanah sesuai dengan PP No. 18 tahun 2021 berdasarkan Pasal 146 ayat (1). Tanah ataupun daerah yang terbentuk di atas maupun di bawah tanah serta dipakai guna kegiatan tertentu bisa diberi hak guna, guna ataupun pengelolaan suatu bangunan. Proposisi Pasal 146 ayat (1) PP No. 18 Tahun 2021 juncto UUCK hak atas tanah dapat diberikan atas permukaan, ruang-ruang tanah dan ruang-ruang bawah tanah dari harta benda yang isinya adalah UUPA Pasal 16 hak atas tanah. Bahasa Pasal 16 UUPA jelas membedakan konsep kepemilikan dari konsep pemisahan dan pemisahan ruang yang muncul dari Pasal 16 ayat 1 dan ayat 2 UUPA.

Diundang-undangkannya UU No. 11 tahun 2020 terkait Cipta Kerja (selanjutnya disebut UUCK) salah satunya merupakan perbelakuannya hukum pertanahan yang tidak lagi mengacu lagi kepada UUPA melainkan pada UUCK. Namun UUCK telah diputus Inkonstitusional Bersyarat oleh MK lewat Putusan MK Tahun 2020 pada 25 November 2021. Dalam putusan nya, MK menilai pembentukan UUCK tidak dilandaskan kepada cara maupun metode yang baku, standar, pasti dan sistematika pembentukan undang-undang, disamping itu berlangsung perubahan penulisan pada sejumlah substansi pasca persetujuan DPR maupun Presiden dan berlawnana terhadap sejumlah asas pembentukan aturan perundang-undangan sehingga MK mengemukakan bahwasannya proses pembentukan dari UU No. 11 Tahun 2020 yakni tidak memenuhi ketetapan UUD 1945 sehinga harus dikatakanCacat Formil�. Putusan terkait inkonsitusional bersyarat tersebut diambil karena MK harus melakukan penyeimbangan diantara pembentukan UU yang harus dipenuhi selaku persyaratan formil sehingga memperoleh UU yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfatan maupun keadilan dan mempertimbangkan pula tujuan strategis dari dari dibentuknya UUCK. Mahkamah konstitusi memberikan perintah supaya segera disusun dasar hukum yang baku sehingga bisa menjadi pedoman untuk penyusunan UU dengan memaki metode Omnibus Law (Corputty, 2020). UUCK dilangsungkan perbaikan untuk memenuhi cara ataupun metode yang baku, standar, pasti dan memenuhi sejumlah asas penyusunan UU khususnya yakni asas keterbukaan melalui cara menyertakan partisipasi warga yang optimal (Negara, 2015).

Hak atas tanah dalam perihal hukum agraria, Adapun PP, sebelum omnibus law. No. 24 Tahun 1997 24 tahun 1997 adalah properti yang terdaftar atau disertifikasi berdasarkan Pasal 16 UUPA. Apabila mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 2021 jo Permen ATR/BPN Nomor 18 Undang-Undang pasca omnibus Tahun 2021, maka hal ini timbul karena adanya hubungan hukum diantara pemegang hak dengan harga benda, termasuk ruang tanah. Ruang di atas tanah maupun bawah tanah timbul untuk mengelola, memiliki, menggunakan, memanfaatkan, dan memelihara tanah maupun ruang bawah tanah (Alrip, 2012). Definisi hak atas tanah yang ditetapkan oleh Omnibus Act memasukkan kata �inklusif� pada pengertiannya. Jadi, secara harfiah, pemegang hak atas tanah adalah mutatis mutandis pemilik tanah, pemilik basement. Kesalahpahaman akibat pengertian hak atas tanah dalam model-model seperti itu dapat muncul ketika kata �termasukdikaitkan dengan tanah dan ruang, tetapi arti sebenarnya adalah bahwa pemegang HGB atas bidang tanah berbeda dengan ruang milik pemegang HGB, berbeda dengan pemilik basement.

Konsep pengelolaan ruang bawah tanah diamanatkan pada Pasal 146 ayat (1)hingga (5) UUCK yakniayat (1) Tanah ataupun ruang yang terbentuk di ruang atas maupun bawah tanah serta dipakai untuk aktivitas tertentu bisa diberi HGB, HP ataupun hak pengelolaan, ayat (2) Batas kepemilikan tanah di ruang atas tanah oleh pemilik hak atas tanah diberikan sesuai terhadap koefisien dasar bangunan maupun lantai bangunan, serta rencana tata ruang yang dilakukan penetapan berdasarkan ketetapan aturan perundang-undangan, ayat (3) Batas kepemilikan tanah di ruang bawah tanah oleh pemilik hak atas tanah diberikan sesuai terhadap batas kedalaman pemanfaatan yang dilakukan pengaturan sesuai terhadap ketetapan aturan perundang undangan, ayat (4) Penggunaan maupun pemanfaatan tanah di ruang atas maupun bawah tanah oleh pemilik hak yang berbeda bisa diberi HGB, HP ataupun hak pengelolaan, ayat (5) Ketetapan lebih lanjut terkait pemakaian tanah di ruang atas maupun bawah tanah seperti halnya yang dimaksudkan dalam ayat 1 hingga 4 dilakukan pengaturan pada Perpres.�(Boy & Maiyestati, 2022).

Pengeolaan ruang bawah tanah tudak terlepas hak atas tanah melekat serta tidak bisa terpisahkan dalam hukum agraria Indonesia (Satriani, 2016). Hak atas tanah bukan hanya istilah hukum, tetapi juga konsep hukum dengan pernyataan hukum. Hak atas tanah selaku konsep hukum bisa dipahami dari tiga perspektif hukum-hukum administrasi, perdata serta agrarian (Gunanegara, 2022). Dengan mengacu pada PP No. 24 Tahun 1997, hak atas tanah dalam konteks pra-undang-undang pertanian adalah bidang tanah yang terdaftarkan ataupun mempunyai sertifikat seperti halnya yang dimaksudkan dalam Pasal 16 UUPA. Bila mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 2021 jo Permen ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021 berdasarkan Omnibus Law, maka hubungan hukum antara pemegang hak dengan harta benda, termasuk ruang tanah menggunakan, memanfaatkan, dan memelihara hak ruang bawah tanah, tanah, permukaan, ruang bawah tanah yang timbul dari hubungan tersebut. Definisi hak atas tanah yang dibuat oleh Omnibus Act memasukkan kata �termasukdalam definisinya. Ini berarti bahwa, seperti surat yang dibaca, pemilik tanah, dengan modifikasi yang diperlukan, pemilik tanah, pemilik tanah di atas pemilik ruang bawah tanah. Kesalahpahaman karena definisi hak atas tanah dalam model seperti itu dapat muncul ketika kata "termasuk" dikaitkan dengan tanah atau ruang yang memiliki properti di atasnya, tidak seperti pemilik ruang bawah tanah (Sutedi, 2020).

Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas dan/atau bawah tanah oleh pemegang hak yang berbeda, dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan (Rongiyati, 2016). Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tanah pada ruang atas tanah diatur dengan peraturan Presiden. Ketentuan di atas mengandung makna bahwa ruang atas tanah atau ruang bawah tanah yang digunakan untuk kegiatan pembangunan, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya terpisah dari penggunaan dan pemanfaatan yang ada di atas tanah (permukaan bumi). Dapat ditafsirkan dalam konsep UU CK, pemegang hak atas tanah dipermukaan bumi berbeda dengan pemegang hak atas tanah di ruang bawah tanah atau pemegang hak ruang atas tanah, kemudian tidak ada bagian bersama dan benda bersama sehingga berbeda dengan konsep rumah susun. Maka perlu diatur bagaimana dengan tangga dan lift, siapakah pemegang hak nya, apakah pemegang hak tanah di permukaan bumi atau pemegang hak atas ruang bawah tanah. Perlu diatur juga jika kedepannya ruang bawah tanah terdiri dari beberapa lapis atau level, bagaimana pengaturan lapis kedua, ketiga dan seterusnya, apakah pemberian haknya juga mutatis mutandis dengan pemberian hak atas tanah di permukaan bumi. Sampai berapa level pemberian hak terhadap ruang bawah tanah, apakah di bawah hak ruang bawah tanah dimungkinkan diberikan hak ruang bawah tanah lagi, atau seperti bentuk rumah susun ke bawah, kemungkinan ini bisa saja terjadi mengingat perkembangan teknologi sangat pesat. Jika dijadikan hak tanggungan, bagaimana kedudukan hak tanggungan ruang bawah tanah lapis kedua, ketiga dan selanjutnya. Kemudian bagaimana hubungan antara hak atas tanah di permukaan bumi dengan hak atas ruang atas tanah atau ruang bawah tanah, apakah ada yang bersifat primer dan sekunder atau keduanya bersifat primer. Selanjutnya terhadap ruang atas tanah perlu ditetapkan batas maksimal yang dapat diberikan haknya, tidak hanya mengacu kepada koefisien dasar bangunan atau koefisien lantai bangunan untuk memberi kepastian batas ruang atas tanah yang dapat dimanfaatkan. Selain itu, adanya pemberian hak atas ruang bawah tanah dan ruang atas tanah harus diikuti dengan modernisasi pemetaannya dengan tiga dimensi meliputi permukaan bumi, di atas permukaan bumi dan di bawah permukaan bumi (Sakti, n.d.).

Pada ketentuan Pasal 146 UUCK memberikan prinsip-prinsip penguasaan hak atas ruang bawah tanah. Dengan adanya ketentuan pasal ini Negara dapat memberikan hak pengelolaan atas ruang bawah tanah. Ada beberapa pedoman dari berbagai otoritas mengenai memakai ruang di atas maupun di bawah tanah. Kementrian PUPR sudah mengeluarkan aturan tentang penggunaan ruang bumi. Pemerintah DKI setempat telah mengeluarkan perintah gubernur terkait ruang bawah tanah. Peraturan ini hanya melakukan pengaturan mengenai pemakaian ruang bawah tanah guna pembangunan MRT. Penataan ruang membutuhkan upaya harmonisasi dan koordinasi yang lebih efektif. Dalam konteks ini, perlu penguatan integrasi pengelolaan ruang angkasa pemerintah dengan pengaturan ruang di atas maupun di bawah tanah. Untuk bisa memasukan ruang di atas tanah maupun ruang bawah tanah secara paralel dengan desain permukaan, pengelolaan tata ruang wilayah juga harus dikembangkan secara tiga dimensi. Harmonisasi kesepakatan tidak hanya menyangkut penataan ruang, tetapi juga bidang hukum lainnya seperti hukum kelautan, kehutanan, konstruksi serta lingkungan. Hal tersebut juga berkaitan terhadap kenyataan bahwa ruang di atas maupun di bawah tanah membutuhkan pemanfaatan teknologi guna mendukung keberadaan serta pemanfaatannya (Sakti, n.d.).

Hak Pengelolaan yang dilakukan pengaturan di sejumlah peraturan pemerintah maupun perundang-undangan tersebut. UU Cipta Kerja dan aturan pelaksanaannya yakni PP 18 Tahun 2021. Penguatan perihal Hak Pengelolaan secara tegas diatur dalam Bagian Keempat Pertanahan Paragraf 2 Pasal 136 sampai dengan Pasal 142 UU Cipta Kerja. Mengacu pada konsep bahwasannya hak pengelolaan ialah hak menguasai negara atas tanah yang dapat diberikan pada sebuah badan penguasa yang digunakan untuk pelaksanaan tugasnya masing-masing dimana kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan pada pemegang haknya (Hajati, Winarsi, Sekarmadji, & Moechtar, 2020). Hak menguasai dari negara terhadap tanah tersebut merupakan sumber dari hak bangsa Indonesia terhadap tanah yang secara hakikatnya ialah penugasan penyelenggaraan tugas kewenangan bangsa Indonesia dengan kandungan unsur publik didalamnya (Santoso, 2012). Konsep dari Hak Pengelolaan yang ialah pelimpahansebagiandari kewenangan negara tersebut secara prinsip hanya dapat terjadi diatas tanah negara (Safitri, 2015). Ratio legis dari prinsip ini adalah oleh sebab hak pengelolaan ialah kewenangan dari hak menguasai negara maka dari hak menguasai negara tersebut memberikan batasan bahwa tanah yang diberikan adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara yang diberikan kepada subjek hak tertentu (Hajati et al., 2020).

HGU, HGB, HP dalam kebijakan negara yang mengatur jangka waktu hak atas tanah dalam peraturan pra-UUCK dan pasca-UUCK. Pengaturan hak atas tanah pra-UUCK dimulai dengan titik tolak yang ditetapkan oleh UUPA terkait Peraturan Pemerintah Nomor. 40 Tahun 1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai atas tanah. menggabungkan peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dengan peraturan menteri nomor. 3 tahun 1997 tentang ketentuan pelaksanaan peraturan nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, peraturan menteri nomor.9 tahun 1999 tentang tata cara pemberian dan pembatalan hak atas tanah negara dan hak pengelolaan serta dibandingkan terhadap peraturan hak atas tanah pasca UUCK junct Permen ATR/BPN No. 16 Tahun 2021, juncto PP No. 18 Tahun 2021 juncto Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18/2021 Pada saat yang sama, HGU memiliki Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21-22/PUU-V/2007 dalam hal permohonan pengujian UU No. 25/2007 terkait Penanaman Modal.

Pertimbangan hukum pengadilan sederhana ketika berurusan dengan lembaga yang diatur oleh undang-undang penanaman modal. Instansi-instansi ini memberikan pelayanan sederhana untuk memperoleh sertifikat tanah berupa HGU selama 95 tahun, 60 tahun ke depan, terbarukan 35 tahun,

Pengaturan hak atas tanah melalui metode hukum normatif oleh UUCK dan UUPA telah menimbulkan kontradiksi dan anomali normatif dalam kedua undang-undang tersebut. Abnormalitas antar hukum dan konflik antar norma muncul tidak hanya pada tataran norma, kalimat, dan konsep, tetapi juga pada tataran kebijakan hukum (legal thinking) yang dianut oleh masing-masing undang-undang, yaitu masalah terminologi. dan pemahaman tentang hak atas tanah. Kedua, persoalan pengurusan hak milik, perpanjangan hak milik, dan jangka waktu hak atas tanah milik perseorangan sampai tiga generasi. Ketiga, kerancuan penyusunan UU UUCK yang secara bersyarat dinyatakan inkonstitusional oleh pengadilan, akan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengaturan hak atas tanah. Ketidakpastian hukum pertama berdampak kepada terganggunya sistem perlindungan hukum negara bagi pemilik hak atas tanah.

Argumentasi hukum dipertimbangkan oleh penulis. Pertama, timbulnya dua UU yang melakukan pengaturan terkait masalah hukum yang serupa, seharusnya berdasarkan teoritis tidak boleh dua peraturan berbeda melakukan pengaturan berbeda terhadpa isu hukum yang sama. Kedua, jika UUCK tidak berlaku efektif nota bene (nota kesepahaman) akan tetap berlaku, dan UUPA sendiri akan menyatakan bahwa negara (secara hipotetis) tidak berdaya dan bahwa ketimpangan tanah di antara anak-anak bangsa. Masalahnya, masalah mafia tanah, masalah konflik pertanahan inheren didalamnya permasalahan tumpang tindih serta sertifikat berganda. Ketiga, masalah tataran konstitusional (Gunanegara, 2022).

Sehingga sistem pemberian hak atas tanah ataupun hak pengelolaan pada ruang bawah tanah dalam UUPA melalui melandaskan terhadap ketetapan Pasal 2 ayat (2) UUPA, istilah menguasai ditafsirkanmengatursertamenyelenggarakan� yang selanjutnya oleh MK (Putusan MK RI No. 35/PUU-X/2012; Putusan Putusan MK RI No. 50/PUUX/2012; serta Putusan MK RI No. 3/PUU-VIII/2010). Wewenang Negara itu berkaitan terhadap (a) penggunaan dan/atau peruntukan, persediaan, serta pemeliharaan atas bumi, air, ruang angkasa maupun kekayaan alam di wilayah NKRI; (b) penentuan maupun pengaturan macam hak atas tanah; (c) penentuan maupun pengaturan beberapa hubungan hukum antar orang maupun badan hukum yang berobjekkan tanah. Kewenangan yang dimiliki oleh Negara itu wajib ditujukan untuk upaya guna mencapai kemakmuran masyarakat secara maksimal. Sehingga melalui diskursus pemberian hak atas ruang bawah tanah sebagaimana diderivasikan dari Hak milik negara di mana berbasiskan kepada Pasal 4 UUPA. Namun dalam Undang-Undang Cipta Kerja kepada perseorangan ataupun badan hukum diberikan HGB serta HP dengan jangka waktu sebagaimana yang terdapat Konsep pengelolaan ruang bawah tanah diamanatkan pada Pasal 146 ayat (1) hingga (5) UUCK yaitu ayat (1) Tanah ataupun ruang yang terbentuk di ruang atas maupun bawah tanah serta dipakai kegiatan tertentu bisa diberikan HGB, HP, atau HPL. Pada ketentuan Pasal 146 memberikan prinsip-prinsip penguasaan hak atas ruang bawah tanah. Dengan adanya ketentuan pasal ini Negara dapat memberikan hak pengelolaan atas ruang bawah tanah. Sehingga dapat meminimalisir terjadinya konflik sosial reforma pertanahan di Indonesia demi terciptanya keadilan bagi warga negara dan terjaminnya kepastian hukum.

 

Kesimpulan

Sistem pemberian hak atas tanah ataupun hak pengelolaan pada ruang bawah tanah dalam UUPA melalui melandaskan terhadap ketetapan Pasal 2 ayat (2) UUPA, istilah menguasai ditafsirkan �mengatur� serta �menyelenggarakan� yang selanjutnya oleh MK (Putusan MK RI No. 35/PUU-X/2012; Putusan Putusan MK RI No. 50/PUUX/2012; serta Putusan MK RI No. 3/PUU-VIII/2010). Wewenang Negara itu berkaitan terhadap (a) penggunaan dan/atau peruntukan, persediaan, serta pemeliharaan atas bumi, air, ruang angkasa maupun kekayaan alam di wilayah NKRI; (b) penentuan maupun pengaturan macam hak atas tanah; (c) penentuan maupun pengaturan beberapa hubungan hukum antar orang maupun badan hukum yang berobjekkan tanah. Kewenangan yang dimiliki oleh Negara itu wajib ditujukan untuk upaya guna mencapai kemakmuran masyarakat secara maksimal. Sehingga melalui diskursus pemberian hak atas ruang bawah tanah sebagaimana diderivasikan dari Hak milik negara di mana berbasiskan kepada Pasal 4 UUPA. Namun dalam Undang-Undang Cipta Kerja kepada perseorangan ataupun badan hukum diberikan HGB serta HP dengan jangka waktu sebagaimana yang terdapat Konsep pengelolaan ruang bawah tanah diamanatkan pada Pasal 146 ayat (1) hingga (5) UUCK yaitu ayat (1) Tanah ataupun ruang yang terbentuk di ruang atas maupun bawah tanah serta dipakai kegiatan tertentu bisa diberikan HGB, HP, atau HPL. Pada ketentuan pasal 146 memberikan prinsip-prinsip penguasaan hak atas ruang bawah tanah. Dengan adanya ketentuan pasal ini Negara dapat memberikan hak pengelolaan atas ruang bawah tanah.

 

Bibliografi

 

Adhim, Nur. (2019). Penggunaan Ruang Bawah Tanah Dilema Antara Kebutuhan Dan Pengaturan. Diponegoro Private Law Review, 4(3).Google Sholar

 

Alrip, Ismail. (2012). Pengaturan Pemanfaatan Ruang Bawah Tanah Underground Space Utilization Settings. Universitas Hasanuddin. Google Sholar

 

Boy, Yendra Tamin, & Maiyestati, Maiyestati. (2022). Perbandingan Pemutusan Hubungan Kerja Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Universitas Bung Hatta. Google Sholar

 

Ciputat, Jl K. H. Ahmad Dahlan Cirendeu. (2020). Paradigma Undang-Undang Dengan Konsep Omnibus Law Berkaitan Dengan Norma Hukum Yang Berlaku Di Indonesia. Volume 9 Nomor 1, April 2020, 9(1), 143. Google Sholar

 

Corputty, Patrick. (2020). Omnibus Law Sebagai Alternatif Penyembuh Obesitas Regulasi Sektoral. Jurnal Saniri, 1(1), 44�61. Google Sholar

 

Fajriany, Nur Isra. (2017). Analisis Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian Di Kabupaten Pangkep. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Google Sholar

 

Gunanegara, Gunanegara. (2022). Kebijakan Negara Pada Pengaturan Hak Atas Tanah Pasca Undang-Undang Cipta Kerja. Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum, 6(2), 161�184. Google Sholar

 

Hajati, Sri, Winarsi, Sri, Sekarmadji, Agus, & Moechtar, Oemar. (2020). Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Airlangga University Press. Google Sholar

 

Harsono, Boedi. (1994). Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Djambatan. Google Sholar

 

Hayati, Tri. (2015). Era Baru Hukum Pertambangan: Di Bawah Rezim Uu No. 4 Tahun 2009. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Google Sholar

 

Hermawan, Sapto, & Hananto, Supid Arso. (2021). Pengaturan Ruang Bawah Tanah Berdasarkan Prinsip Agraria Nasional. Pandecta Research Law Journal, 16(1), 27�44. Google Sholar

 

Marzuki, Peter Mahmud. (2005). Penelitian Hukum, Kencana. Jakarta. Google Sholar

 

Mustofa, H., Sh, M. Si, & Suratman, S. H. (2022). Penggunaan Hak Atas Tanah Untuk Industri. Bumi Aksara. Google Sholar

 

Negara, Prodi Hukum Administrasi. (2015). Pelaksanaan Pelayanan Surat Izin Mengemudi (Sim) Di Wilayah Hukum Polres Tana Toraja Untuk Mewujudkan Pelayanan Publik Yang Optimal. Google Sholar

 

Rongiyati, Sulasi. (2016). Pemanfaatan Hak Pengelolaan Atas Tanah Oleh Pihak Ketiga (Land Use Rights Management By A Third Party). Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan, 5(1), 77�89. Google Sholar

 

Safitri, Myrna A. (2015). Meninjau Kembali Hak Pengelolaan Dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Jurnal Hukum Dan Bisnis (Selisik), 1(2), 103�122. Google Sholar

 

Sakti, Trie. (N.D.). Aspek Yuridis Dan Implikasi Hak Guna Ruang Atas Dan Bawah Tanah. Google Sholar

 

Santoso, U. (2012). Hukum Agraria, Kajian Komprehensif. Jakarta: Kencana Pernadamedia Group. Schlager, E., & Otsrom, E.(1992). Property-Rights Regimes And Natural Resources: A Conceptual Analysis. Land Economics, 68(3), 249�262. Google Sholar

 

Satriani, Satriani. (2016). Urgensi Pendaftaran Tanah Dalam Menjamin Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah Di Kabupaten Bulukumba. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. Google Sholar

 

Sutedi, Adrian. (2020). Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Di Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan. Sinar Grafika (Bumi Aksara). Google Sholar

 

Wahid, A. M. Yunus, & Sh, M. Si. (2016). Pengantar Hukum Tata Ruang. Prenada Media. Google Sholar

 

Wardani, Irwan Haryo. (2019). Perlindungan Hak Atas Penguasaan Tanah Transmigrasi Di Lahan Usaha Ii Upt Seunaam Iv Provinsi Aceh. Jurnal Hukum Responsif, 7(7), 145�157. Google Sholar

 

Yanto, Oksidelfa. (2020). Negara Hukum Kepastian, Keadilan, Dan Kemanfaatan Hukum. Google Sholar

 

 

Copyright holder:

Nur Nafa Maulida Atlanta, Bayu Dwi Anggono, Fendi Setyawan (2022)

 

First publication right:

Syntax Idea

 

This article is licensed under: