Syntax Idea: p�ISSN: 2684-6853 e-ISSN: 2684-883X�

Vol. 3, No. 6, Juni 2021

 

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT (ISPA) PADA BALITA DI DAERAH PESISIR KOTA SIBOLGA TAHUN 2020

 

Rita Kristina Pasaribu, Heru Santosa, Nurmaini

Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Sumatera Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstract

ISPA (Acute Respiratory Tract Infection) is a transmitted respiratory tract disease caused by environmental and human factors. Balita (below five year-old children) is very vulnerable to it. It was caused by virus or bacteria. The symptoms are high fever, followed by pain in throat, difficult to swallow, flu, and coughing with or without phlegm transmitted through patients' droplet (Riskesdas,2018). Revealed that, nationally, the prevalence of ISPA in balita was 12.8%, 8. 7% in North Sumatera, and 57% in Sibolga. The objective of the research was to analyze some factors which were correlated with the incidence of ISPA in balita at the coastal area of Sibolga . The data were gathered by using questionnaires. The research used cross sectional design. The samples were 265 (Isaac and Michael tables). The data were analyzed by using univariate analysis, bivariate analysis, and multivariate analysis with multiple logistic regression tests. From the samples, it was found that 144 of them (54.3%) were affected by ISPA and 121 of them (45. 7%) were not. The result of univariate analysis showed that 141 respondents (53.2%) had good requirement for their floors, 146 of them (55.1%) for walls, 70 of them (26.4%) for air ventilation, 257 of them (97%) for room temperature, 225 of them (84.9%) for lighting, 233 of them (87.9%) for moisture, 181 of them (68. 3%) for population density. From the factor of children, it was found that there were 131 boys (49.4%), 188 of the balita (70.9%) were 6- 35 months old, 217 of them (81.9%) were not BBLR, 206 of them (77.7%) had bad nutrition, 160 of them (60.4%) got vitamin A, 139 of them (52.5%) got immunization completion, 177 of them (66.8%) were breastfed with ASI (breast milk), 202 of them (76. 2%) smoked, 40 of them (15.1 %) used wood as fuel, and 27 of them (10.2%) used mosquito coils The result of bivariate analysis showed that 8 (eight) independent variables which were correlated were smoking (p-value=0. 003), using mosquito coils (p-value=0.026), floors (p-value=0.033), walls (p-value=0.002), population density (p-value=0.001), nutritional status (pvalue=0.001), air ventilation (p-value=0.012), Vitamin A(p-value=0.024), and complete immunization (p-value=0.035). The result of multivariate analysis showed that the variables of smoking, condition of house walls, nutritional status, and immunization completion caused the incidence of ISPA in balita at the coastal area of Sibolga (75.8%). It is recommended that prevent ISPA by increasing nutritional status, ASI, visiting posyandu, and no smoking inside their houses.

 

Keywords: ISPA; environment; balita��������������������������������������������

 

Abstrak

ISPA adalah penyakit saluran pernapasan yang dapat menular dipengaruhi faktor lingkungan dan faktor-faktor pada manusia yang mempengaruhi timbulnya penyakit. Usia balita paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. ISPA (Riskesdas 2018) disebabkan virus atau bakteri, diawali panas disertai gejala tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak yang ditularkan melalui droplet penderita. Prevalensi ISPA balita secara nasional sebesar 12,8%, Sumatera Utara sebesar 8,7% dan Sibolga sebesar 57%. Tujuan penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Desain penelitian yang digunakan cross sectional, jumlah sampel 265. Metode analisis data univariat, bivariat dan multivariat menggunakan uji regresi logistic berganda. Dari 265 sampel, diketahui 144(54,3%) ISPA. Hasil analisis univariat yang memenuhi syarat sebanyak 141(53,2%) lantai, 146(55,1%) dinding, 70(26,4) ventilasi udara, 257(97%) suhu ruangan, 25(84,9%) pencahayaan, 233(87,9%) kelembaban,181(68,3%) kepadatan hunian. Umur balita 6-35 bulan 188(70,9%),tidak BBLR 217(81,9%), 206(77,7%) gizi baik, memperoleh vitamin A 160(60,4%), imunisasi lengkap 139(52,5%) mendapat ASI sebanyak 177(66,8%). Perilaku kebiasaan merokok 202(76,2%), penggunaan kayu bakar 40(15,1%) dan menggunakan anti nyamuk bakar �27(10,2%). Hasil analisis bivariat yang berhubungan yaitu kebiasaan merokok (p-value=0,003), penggunaan anti nyamuk bakar(p-value=0,026), lantai(p-value=0,033), dinding(p-value=0,002), kepadatan hunian (p-value=0,001), status gizi(p-value=0,001), ventilasi udara (p-value=0,012), vitamin A(p-value=0,024), kelengkapan imunisasi(p-value=0,35). Hasil analisis multivariat mendapatkan variabel kebiasaan merokok, kondisi dinding rumah, status gizi dan kelengkapan imunisasi menyebabkan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga sebesar 75,8%. Diharapkan masyarakat dapat mencegah terjadinya ISPA dengan meningkatkan status gizi, ASI, kunjungan ke Posyandu dan tidak merokok di dalam rumah.

 

Kata Kunci: ISPA; lingkungan; balita

 

Pendahuluan

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dapat diartikan sebagai penyakit saluran pernapasan bagian atas yang dapat menular dan menimbulkan rentetan penyakit mulai dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai dengan infeksi parah dan mematikan yang dipengaruhi oleh patogen penyebabnya, faktor lingkungan dan faktor-faktor pada manusia yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit. ISPA juga diartikan sebagai infeksi yang terjadi pada saluran pernapasan akut yang terjadi karena adanya penularan agen infeksius dari manusia ke manusia. Gejala biasanya datang dengan cepat, mulai dari beberapa jam hingga beberapa hari, seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, pilek, sesak napas, mengi atau sulit bernapas (Tambunan, 2016). Usia balita merupakan kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Balita akan sangat rentan terinfeksi saluran pernapasan karena sistem tubuh yang masih rendah, itulah yang menyebabkan angka prevalensi dan gejala infeksi saluran pernapasan akut sangat tinggi bagi balita. Gejala infeksi saluran pernapasan akut merupakan salah satu hal yang sangat sering terjadi di masyarakat (Saputra, 2017).

Prevalensi ISPA pada balita di Sumatera Utara sebesar 8,7 persen. Prevalensi ISPA Balita di Sibolga, sebesar 57 persen menduduki peringkat ke dua �terbanyak setelah Pakpak Barat (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2018). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Sibolga tahun 2019, diketahui bahwa ISPA merupakan penyakit yang menduduki urutan pertama. Pada tahun 2018 kejadian ISPA� pada balita sebanyak 5.252 orang (Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2018). Informasi ini penting untuk diteliti dan ditelaah faktor-faktor penyebabnya khususnya pada balita.

Terdapat tiga faktor risiko terjadinya ISPA secara umum, yaitu pertama faktor lingkungan yang meliputi pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah dan kepadatan hunian.� Kedua faktor individu anak yaitu umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor yang ketiga adalah faktor perilaku yang berkaitan dengan pencegahan dan penanggulangan ISPA yang dilakukan oleh ibu maupun anggota keluarga lainnya terhadap bayi atau balita (Depkes RI, 2002).

Sanitasi fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menjadi lingkungan yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri penyebab ISPA pada anak balita. Luas ventilasi yang tidak memenuhi persyaratan dapat memengaruhi kondisi kelembaban di dalam ruangan, begitu pula kepadatan hunian di dalam suatu ruangan dapat mempercepat penularan penyakit (Putri, 2017).

Pemberian imunisasi yang tidak lengkap menjadi salah satu pendukung kejadian ISPA. Hal ini merupakan hasil pembahasan dari penelitian (Purnama Sinaga, 2014) yaitu balita yang imunisasinya tidak lengkap memiliki peluang mengalami ISPA sebesar 4,108 kali dibandingkan dengan balita yang imunisasinya lengkap. Menurut (Epi Sinaga, 2011) bahwa asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak. Paparan yang terus-menerus akan menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya kejadian ISPA.

ISPA merupakan kasus yang paling tinggi dari sepuluh penyakit terbanyak di Sibolga. Prevalensi ISPA balita di Sibolga sebesar 57 persen, jauh lebih besar dari prevalensi ISPA pada balita di Indonesia sebesar 12,08 persen. Jumlah kejadian ISPA pada anak balita di kawasan pesisir Kota Sibolga tergolong tinggi yang disebabkan oleh ventilasi udara tidak sesuai persyaratan, status imunisasi tidak lengkap dan ditemukannya anggota keluarga yang menghisap rokok di dalam rumah. Penyebab lainnya adalah pencemaran udara dalam rumah seperti penggunaan obat nyamuk bakar, penggunaan kayu bakar, kondisi fisik rumah (lantai, dinding, suhu rumah, pencahayaan dan kelembaban), kepadatan hunian dalam rumah, umur balita, berat badan saat lahir. Status ASI, status gizi dan vitamin A serta kebiasaan ibu sebagai upaya mencegah terjadinya ISPA. Penelitian yag dilakukan oleh (Hutapea J. S. D, 2014) juga menjelaskan keterkaitan kondisi fisik rumah dengan kejadian ISPA di wilayah Pintu Angin, Sibolga. Dari uraian-uraian yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat disusun suatu rumusan masalah terkait faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga.

 

Metode Penelitian

Pendekatan pada penelitian jenis kuantitatif dengan analitik ini adalah cross sectional dimana penelitian ini melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat yang bersamaan antara variabel independen dan variabel dependen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita yang diketahui dari hasil wawancara dengan responden. Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor lingkungan yaitu pencemaran udara dalam rumah (kebiasaan merokok, penggunaan kayu bakar dan penggunaan obat anti nyamuk bakar), kondisi fisik rumah (lantai, dinding, ventilasi rumah, suhu ruangan, pencahayaan, dan kelembaban ruangan), kepadatan hunian rumah; faktor individu anak yaitu umur balita, berat badan lahir, status gizi, vitamin A, status imunisasi dan status ASI ; faktor perilaku yaitu pencegahan ISPA. Menurut (Notoatmodjo, 2012), cross sectional merupakan jenis penelitian yang menekankan waktu pengukuran/observasi data variabel bebas dan tergantung hanya satu kali pada satu saat. Penelitian cross sectional ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain. Penelitian ini berlokasi di wilayah Pelabuhan Sambas dan Pintu Angin Kota Sibolga yang dilaksanakan pada Oktober 2019 � Juni 2020. Teknik pengambilan sampel dengan purposive sampling dan cara penghitungan sampel diambil dengan mengacu pada tabel Issac dan Michael dengan derajat kesalahan 10 %, sehingga sampel yang diteliti sebanyak 265 dari jumlah populasi yang ada 7.464 orang.

 

Hasil Penelitian

Responden yang digunakan sebagai sampel pada penelitian ini ialah ibu yang dominan memiliki rentang umur 31-40 tahun (51,7%), memiliki Pendidikan setingkat SMA (42,3 %), memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga (67,2%) dan memiliki penghasilan yang tinggi (60%).

Tabel 1

Distribusi Frekuensi Variabel Faktor Lingkungan

Variabel

Jumlah

%

Lantai

-

Tidak memenuhi syarat

124

46,8

-

Memenuhi syarat

141

53,2

Dinding

-

Tidak memenuhi syarat

146

55,1

-

Memenuhi syarat

119

44,9

Ventilasi udara

-

Tidak memenuhi syarat

195

73,6

-

Memenuhi syarat

70

26,4

Suhu ruangan

-

Tidak memenuhi syarat

8

3,0

-

Memenuhi syarat

257

97,0

 

Pencahayaan

-

Tidak memenuhi syarat

40

15,1

-

Memenuhi syarat

225

84,9

Kelembaban

-

Tidak memenuhi syarat

32

12,1

-

Memenuhi syarat

233

87,9

Kepadatan hunian

-

Tidak memenuhi syarat

181

68,3

-

Memenuhi syarat

84

31,7

 

Ditemukan sebanyak 141 (53,2%) tempat tinggal memenuhi syarat dan lantai yang tidak memenuhi syarat sebanyak 141 (53,2%). Demikian juga dengan dinding, sebanyak 146 (55,1%) tempat tinggal memiliki dinding yang tidak memenuhi syarat dan yang memenuhi syarat 119 (44,9%). Sedangkan ventilasi udara memiliki jumlah 195 (73,6%) rumah yang tidak memenuhi syarat dan yang memenuhi syarat hanya 70 (26,4%). Suhu ruangan pada penelitian ini pada umumnya memenuhi syarat, dengan jumlah 257 (97)% dan yang tidak memenuhi syarat 8 (3,0%). Pencahayaan erat kaitannya dengan sinar matahari dan bukaan pada dinding rumah. Pada penelitian ini diperoleh 225 (84,9%) rumah memenuhi persyaratan pencahayaan sedangkan sisanya 40 (15,1%) tidak memenuhi syarat. Kelembaban dalam ruangan yang disarankan menurut peraturan Menteri Kesehatan yaitu 40% s/d 60%. Diketahui dari tabel 1 bahwa kelembaban tempat tinggal responden, dominan memenuhi syarat sebanyak 233 (87,9%) rumah dan 32 (12,1%) tidak memenuhi syarat. Kepadatan hunian merupakan perbandingan jumlah penghuni rumah dengan luasan rumah yang ditempati. Pendataan menunjukkan bahwa 181 (68,3%) rumah tergolong tidak memenuhi syarat, hanya 84 (31,7%) rumah yang memenuhi syarat kepadatan rumah.

 

Tabel 2

Distribusi Frekuensi Variabel Individu Anak

Variabel

Jumlah

%

Jenis kelamin

-

Laki-laki

131

49,4

-

Perempuan

134

50,6

Umur Balita

-

6 - 35 bulan

188

70,9

-

36 - 59 bulan

77

29,1

Berat badan lahir

-

BBLR

48

18,1

-

Tidak BBLR

217

81,9

Status gizi

-

Status gizi buruk

59

22,3

-

Status gizi baik

206

77,7

Pemberian Vitamin A

-

Tidak

105

39,6

-

Ya

160

60,4

Kelengkapan Imunisasi

-

Tidak

126

47,5

-

Ya

139

52,5

Pemberian ASI

-

Tidak

88

33.2

-

Ya

177

66.8

 

Dari tabel 2 variabel faktor individu anak diperoleh data bahwa distribusi jenis kelamin anak laki-laki sebanyak 131 (49,4%) orang dan anak perempuan sebanyak 134 (50,6%) orang. Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah yang tidak jauh berbeda antara balita laki-laki dan perempuan yang menjadi obyek penelitian. Umur balita yang diteliti paling banyak ditemukan pada rentang umur 6-35 bulan sebanyak 188 (70,9%) anak dan sisanya pada rentang umur 36-59 bulan yaitu sebanyak 77 (29,1%) anak. Penelitian ini memperoleh data bahwa dominan anak balita yang diteliti yaitu sebanyak 217 (81,9%) anak lahir dengan kondisi tidak BBLR. Bahwa 59 (22,3%) anak menderita gizi buruk, sedangkan 206 (77,7%) anak tidak mengalami gizi buruk. Pemberian vitamin A ditemukan pada 160 (60,4%) anak. Kelengkapan imunisasi ditemukan sebanyak 139(52,5%) anak yang diberikan imunisasi lengkap dan 126 (47,5%) anak yang tidak diberikan imunisasi lengkap. Diketahui balita yang mendapat pemberian ASI sebanyak 177 (66,8%) dari 265 balita yang diteliti dan 88 (33,2%) tidak mendapat ASI.

 

Tabel 3

Distribusi Frekuensi Variabel Perilaku

Variabel

Jumlah

%

Kebiasaan merokok di dalam rumah

-

Ya

202

76,2

-

Tidak

63

23,8

Penggunaan kayu bakar

-

Ya

40

15,1

-

Tidak

225

84,9

Penggunaan anti nyamuk bakar

-

Ya

27

10,2

-

Tidak

238

89,8

 

Sebanyak 202 (76,2%) responden yang merokok, yang menggunakan kayu bakar sebanyak 40 (15,1%) dan yang menggunakan anti nyamuk bakar di rumahnya sebanyak 27 (10,2%).

 

A.  Kejadian ISPA

Hasil penelitian ini memperoleh data kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga sebanyak 144 responden (54,3%) dan yang tidak ISPA sebanyak 121 orang (45,7 %).

Tabel 4

Hubungan Faktor Lingkungan Dengan Kejadian ISPA

Variabel

ISPA

p-

�� value

RP

Ya

%

�� Tidak

%

Total

%

Lantai

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak memenuhi syarat

68

54,8

56

45,2

124

100,0

0,033

1,33

Memenuhi syarat

76

53,9

65

46,1

141

100,0

 

 

Dinding

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak memenuhi syarat

85

58,2

61

41,8

146

100,0

0,002

1,432

Memenuhi syarat

59

49,6

60

50,4

119

100,0

 

 

Ventilasi udara

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak memenuhi syarat

105

53,8

90

46,2

195

100,0

0,012

1,208

Memenuhi syarat

39

55,7

31

44,3

70

100,0

 

 

Suhu ruangan

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak memenuhi syarat

4

50,0

4

50,0

8

100,0

0,803

0,84

Memenuhi syarat

140

54,5

117

45,5

257

100,0

 

 

Pencahayaan

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak memenuhi syarat

24

60,0

16

40,0

40

100,0

0,434

1,26

Memenuhi syarat

120

53,3

105

46,7

225

100,0

 

 

Kelembaban

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak memenuhi syarat

21

65,6

11

34,4

32

100,0

0,168

1,604

Memenuhi syarat

123

52,8

110

47,2

233

100,0

 

 

Kepadatan hunian

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak memenuhi syarat

100

55,2

81

44,8

181

100,0

0,011

1,243

Memenuhi syarat

44

52,4

40

47,6

84

100,0

 

 

 

Analisis dari variabel faktor lingkungan, diperoleh bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga antara lain lantai dengan p value=0,033 dan RP=1,33; dinding dengan p value=0,002 dan RP=1,432; ventilasi udara dengan p value=0,012 dan RP = 1,208 dan kepadatan hunian dengan p value=0,011 dan RP=1,243

 

Tabel 5

Hubungan Faktor Individu Anak Dengan Kejadian ISPA

Variabel

ISPA

p- value

RP

Ya

(%)

Tidak

(%)

Total

(%)

Jenis kelamin

 

 

 

 

 

 

 

 

Perempuan

85

63,4

49

36,6

134

100,0

0,302

1,135

Laki-laki

82

62,6

49

37,4

131

100,0

 

 

Umur balita

 

 

 

 

 

 

 

 

6-35 bulan

24

60,0

16

40,0

40

100,0

0,257

0,915

36-60 bulan

120

53,3

105

46,7

225

100,0

 

 

Berat badan lahir

 

 

 

 

 

 

 

 

BBLR

30

62,5

18

37,5

48

100,0

0,348

1,283

Tidak BBLR

137

63,1

80

36,9

217

100,0

 

 

Status gizi

 

 

 

 

 

 

 

 

Status gizi buruk

50

80,6

12

19,4

62

100,0

0,001

2,258

Status gizi baik

117

57,6

86

42,4

203

100,0

 

 

Pemberian vit-A

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak

91

71,7

36

28,3

127

100,0

0,024

1,422

Ya

76

55,1

62

44,9

138

100,0

 

 

Kelengkapan imunisasi 

Tidak

74

74,7

25

25,3

99

100,0

0,035

1,32

Ya

93

56,0

73

44,0

166

100,0

 

 

Pemberian ASI

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak

66

70,2

28

29,8

94

100,0

0,060

1,4

Ya

101

59,1

70

40,9

171

100,0

 

 

Analisis dari faktor individu anak, diperoleh data bahwa variabel status gizi dengan nilai p value=0,001 dan RP=2,258; pemberian vitamin A dengan p value=0,024 dan RP=1,422 dan kelengkapan imunisasi dengan nilai p value=0,035 dan RP=1,32; memiliki hubungan dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga yang ditunjukkan dengan nilai p value <0,05.

 

Tabel 6

Hubungan Faktor Perilaku dengan Kejadian ISPA

Variabel

ISPA

p-

�� value

RP

Ya

%

� Tidak

%

Total

%

Kebiasaan merokok di dalam rumah 

Ya

143

67,5

69

32,5

212

100,0

0,003

1,23

Tidak

24

45,3

29

54,7

53

100,0

 

 

Penggunaan kayu bakar

 

 

 

 

 

 

 

 

Ya

24

60,0

16

40,0

40

100,0

0,434

1,26

Tidak

120

53,3

105

46,7

225

100,0

 

 

Penggunaan anti nyamuk bakar 

Ya

20

74,1

7

25,9

27

100,0

0,026

2,401

Tidak

124

52,1

114

47,9

238

100,0

 

 

 

Dari tabel 6 dapat kita temukan analisis dari variabel faktor perilaku, diperoleh data bahwa variabel kebiasaan merokok di dalam rumah dengan nilai p value=0,003 dan RP = 1,23 dan penggunaan anti nyamuk bakar dengan nilai p value=0,026 dan RP = 2, memiliki hubungan dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga yang ditunjukkan dengan nilai p value <0,05.

Variabel independen yang memenuhi kriteria analisis data metode multivariat dapat dilihat berdasarkan p value pada hasil uji bivariat dengan p ≤ 0,25.

Hasil Analisis Data Metode Multivariat menunjukkan terdapat beberapa tahapan backward selection (8 tahap) yang setiap tahapannya mengeliminasi 1 variabel independen dengan nilai p value >0,05 sampai tidak ditemukan lagi variabel independen yang memiliki nilai p value>0,05. Pada tahap kedelapan (terakhir) diperoleh variabel independen yaitu kebiasaan merokok dengan nilai p value =0,020, dinding dengan nilai p value =0,017, status gizi dengan nilai p value =0,007 dan kelengkapan imunisasi dengan nilai p value =0,042. Nilai probabilitas kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga sebesar 75,8%.

B.  Hubungan Faktor Lingkungan dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga

Ada hubungan antara kondisi lantai dengan p value=0,033 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,33 artinya balita yang tinggal di rumah dengan kondisi lantai yang kering, lembab, sulit dibersihkan dan permukaan tidak rata memiliki peluang 1,33 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang tinggal di rumah yang kondisi lantainya memenuhi syarat dan sejalan dengan penelitian (Pangemanan, Sumampouw, & Akili, 2016) yaitu terdapat hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Melonguane Kabupaten Kepulauan Talaud dengan p- value=0,046.

Ada hubungan antara kondisi dinding dengan p value=0,002 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,432 artinya balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding yang tidak kokoh, tidak rapat dan sulit dibersihkan memiliki peluang 1,432 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang kondisi dindingnya memenuhi syarat. Hal ini sejalan dengan penelitian (Pratiwi, Rahmawati, & Sudyasih, 2018) di Luwuk Timur yang menyatakan bahwa ada hubungan dinding dengan kejadian ISPA pada balita yang diketahui dari p value sebesar 0,003.

Ada hubungan antara ventilasi udara dengan p value=0,012 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,208 artinya balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi < dari 10 % dari luas lantai memiliki peluang 1,208 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang tinggal di rumah yang memiliki ventilasi udara yang memenuhi syarat. Hasil penelitian (Fillacano, 2013) juga menemukan p value=0,019 dari� hubungan bermakna antara ventilasi rumah terhadap ISPA dan diperoleh data bahwa rumah yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat beresiko 3 kali lebih besar balita terkena ISPA dibandingkan dengan rumah yang memiliki ventilasi memenuhi syarat.

Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan p value=0,011 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,243 artinya balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan hunian > 8m2/penghuni 1,432 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang tinggal di rumah yang kondisi kepadatan huniannya memenuhi syarat. Demikian juga dengan penelitian (Dongky & Kadrianti, 2016) yang memperoleh p value=0,017 berarti terdapat hubungan yang sigifikan antara kepadatan hunian� dengan kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Takatidung Polewali Mandar.

C.      Hubungan Faktor Individu Anak dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga

Ada hubungan antara status gizi dengan p value=0,001 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 2,258 artinya balita yang memiliki status gizi buruk memiliki peluang 2,258 kali terkena ISPA dibandingkan dengan status gizi baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Fatimah, 2017) yang mendapatkan hubungan antara status gizi dengan Kejadian ISPA pada Bayi di Wilayah Kerja Puskesmas Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun Tahun 2017 dengan p value <0,05. �

Ada hubungan antara pemberian vitamin A dengan p value=0,024 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,422 artinya balita yang tidak mendapatkan vitamin A secara teratur (2 kali dalam setahun) memiliki peluang 1,422 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang diberikan vitamin A secara teratur. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Herlina & Sadiman, 2018) yang mendapatkan hubungan antara pemberian vitamin A pada anak balita di Kota Metro Tahun 2011 dengan p value=0,026.

Ada hubungan antara kelengkapan imunisasi dengan p value=0,035 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1, 32 artinya balita yang tidak mendapat imunisasi secara lengkap memiliki peluang 1,432 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang mendapat imunisasi secara lengkap yang sejalan dengan penelitian (Herlina & Sadiman, 2018) yaitu hubungan antara imunisasi pada anak balita di Kota Metro Tahun 2011 dengan p value=0,012. Ada hubungan antara pemberian ASI dengan p value=0,060 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,4 artinya balita yang tidak diebrikan ASI hingga 6 bulan memiliki peluang 1,432 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang diberikan ASI selama 6 bulan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Dewi & Mutahar, 2011) yang juga menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI dengan kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Kemalaraja Kabupaten Ogan Komering Ulu yang memiliki p value=0,002.

D.      Hubungan Faktor Perilaku dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga

Ada hubungan antara kebiasaan merokok di dalam rumah dengan p value=0,003 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 1,23 artinya balita yang tinggal di rumah yang penghuninya memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah, memiliki peluang 1, 32 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang tidak merokok di dalam rumah. Kebiasaan merokok menjadi salah satu variabel independen yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA pada penelitian ini dengan nilai p value=0,032. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 202 responden (76,2%) dari seluruh responden yang diteliti dan dari 202 responden tersebut sebanyak 59,4% yang mengalami kejadian ISPA. Nilai PR sebesar 1,23 mengartikan bahwa kebiasaan merokok memiliki resiko 1,23 lebih besar akan mengalami ISPA dibandingkan orang yang tidak merokok. Hubungan ini juga diperoleh dari penelitian (Saleh, Gafur, & Aeni, 2017) yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA wilayah kerja Puskesmas Dahlia Kota Makassar tahun 2017 dengan nilai p value=0,03.

Ada hubungan antara penggunaan anti nyamuk bakar dengan p value=0,026 dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga, dengan nilai RP 2,401 artinya balita yang tinggal di rumah yang menggunakan anti nyamuk bakar memiliki peluang 2,401 kali terkena ISPA dibandingkan dengan yang tinggal di rumah yang tidak menggunakan anti nyamuk bakar. Hal ini berkaitan dengan hasil penelitian dari (Mahardika, 2015) yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan obat anti nyamuk terhadap penyakit ISPA pada balita dengan p value=0,039. Efek obat nyamuk bakar dapat menimbulkan asap yang dapat menyebabkan sesak nafas dan mengotori lantai atau membekas pada pakaian atau tembok. Anti nyamuk bakar yang hasilnya berupa asap memiliki karakteristik yang mirip dengan asap rokok. Kandungan yang terdapat di dalamnya bakar dapat berdampak bagi kesehatan anggota keluarga di rumah.

Kebiasaan masyarakat merokok di dalam rumah, kondisi dinding yang tidak kokoh, sulit dibersihkan dan tidak rapat, status gizi buruk serta imunisasi yang tidak lengkap berpeluang terjadinya ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga sebesar 75,8 %. Dan ada 24,2 % disebabkan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

 

Kesimpulan

Hasil analisis data dengan metode bivariat mendapatkan sembilan variabel independen yang memiliki hubungan dengan kejadian ISPA di Kota Sibolga, sedangkan hasil analisis data metode multivariat mendapatkan 4 variabel independen yang berhubungan erat dengan kejadian ISPA pada balita di daerah pesisir kota Sibolga yaitu kebiasaan merokok, dinding, status gizi dan kelengkapan imunisasi. �Kebiasaan masyarakat merokok di dalam rumah, kondisi dinding yang tidak kokoh, sulit dibersihkan dan tidak rapat, status gizi buruk serta imunisasi yang tidak lengkap berpeluang terjadinya ISPA pada balita di daerah pesisir Kota Sibolga sebesar 75,8 %. Dan ada 24,2 % disebabkan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Perlu ditingkatkan pelayanan dan promosi POSYANDU sebagai tempat untuk memberikan informasi dan pelayanan kesehatan kepada ibu dan balita. Memantau kader-kader Posyandu dan petugas kesehatan agar lebih giat mengajak masyarakat untuk berkunjung ke Posyandu. Bagi tenaga kesehatan diharapkan dapat meningkatkan promosi kesehatan melalui penyuluhan dan media lainnya agar masyarakat memiliki pola hidup sehat sehingga dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian balita yang disebabkan oleh penyakit ISPA. Program peningkatan kualitas rumah perlu ditingkatkan lagi agar semakin banyak masyarakat Kota Sibolga yang memiliki rumah layak huni.

 

BIBLIOGRAFI

 

Departemen Kesehatan RI. (2002). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Jakarta.Google Scholar

 

Dewi, Tri Utami, & Mutahar, Rini. (2011). Determinan Kejadian Pnemonia pada Balita Usia 6-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Kemalaraja Kabupaten Ogan Komering Ulu. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 2(1). Google Scholar

 

Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. (2018). Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara 2018. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara. Medan. Google Scholar

 

Dongky, Patmawaty, & Kadrianti, Kadrianti. (2016). Faktor Risiko Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA Balita di Kelurahan Takatidung Polewali Mandar. Unnes Journal of Public Health, 5(4), 324�329. Google Scholar

 

Fatimah, Leli. (2017). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun Tahun 2017. Google Scholar

 

Fillacano, Rahmayatul. (2013). Hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ISPA pada BALITA di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan Tahun 2013. Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Google Scholar

 

Herlina, Herlina, & Sadiman, Sadiman. (2018). Faktor Individu Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (Ispa) Pada Anak Balita Di Kota Metro Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Metro Sai Wawai, 4(2), 60�69. Google Scholar

 

Hutapea J. S. D, Naria E. dan Santi D. N. (2014). Hubungan Kondisi Fisik Rumah Nelayan Dengan Keluhan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita Di Lingkungan Pintu Angin Kelurahan Sibolga Hilir Kecamatan Sibolga Utara Kota Sibolga Tahun 2013. Skripsi. Universitas Sumatera Utara.

 

Mahardika, Imanda. (2015). Hubungan Faktor Kegiatan Di Rumah Terhadap Penyakit Ispa Pada Balita (Studi Kasus Di Wilayah Kerja Puskesmas Tenggarang Kabupaten Bondowoso). Repository Universitas Jember. Google Scholar

 

Notoatmodjo, Soekidjo. (2012). Metodologi penelitian kesehatan. PT. Rineka Cipta : Jakarta. Google Scholar

 

Pangemanan, Junitje I., Sumampouw, Oksfriani J., & Akili, Rahayu H. (2016). Hubungan Antara Kondisi Fisik Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Melonguane Kabupaten Kepulauan Talaud. Ikmas, 1(3). Google Scholar

 

Pratiwi, Oktarika Dianing, Rahmawati, Agustina, & Sudyasih, Tiwi. (2018). Analisis Faktor�Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Bambanglipuro Bantul Yogyakarta. Repositori riset kesehatan nasional. Google Scholar

 

Putri, Maulidiyah D. W. I. Azti. (2017). Hubungan sanitasi fisik rumah dan PM10 dengan kejadian ISPA pada anak balita di pemukiman sekitar lingkungan industri Desa Tumapel Kabupaten Mojokerto. Airlangga university. http://repository.unair.ac.id/id/eprint/68623. �Google Scholar

 

Saleh, Muhammad, Gafur, Abdul, & Aeni, Syahratul. (2017). Hubungan Sumber Polutan dalam Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Balita di Kecamatan Mariso Kota Makassar. HIGIENE: Jurnal Kesehatan Lingkungan, 3(3), 169�176. Google Scholar

 

Saputra, Suhaimi. (2017). Hubungan Penggunaan Obat Anti Nyamuk Bakar Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) Pada Balita Dipuskesmas Pengadang Kabupaten Lombok Tengah. University of Muhammadiyah Malang. http://eprints.umm.ac.id/id/eprint/41782. Google Scholar

 

Sinaga, Epi. (2011). Kualitas Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara Tahun 2011. FKM.UI.

 

Sinaga, Purnama. (2014). Hubungan Status Gizi dan Status Imunisasi dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Ispa) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Soposurung Kecamatan Balige bkabupaten Toba Samosir Tahun 2014. Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara (RI-USU). �Google Scholar

 

Tambunan, T. (2016). Glosarium Istilah Pemerintahan. Jakarta. Prenadamedia Group.

 

Copyright holder :

Rita Kristina Pasaribu, Heru Santosa dan Nurmaini (2021)

 

First publication right :

Jurnal Syntax Idea

 

This article is licensed under: